Pesan Ekonomi Islam bagi Aktifis Dakwah

Oleh: Ali Sakti

Menjadi kegundahan tersendiri pada saya, ketika berjumpa dengan saudara-saudara yang berada dalam satu shaf gerakan perbaikan ummat, ternyata banyak diantara kami yang masih tidak mampu menerjemahkan prinsip-prinsip Islam dalam menyikapi harta dan kondisi ekonomi mereka. Mereka begitu fasih dalam bersikap pada isu-isu terkait akidah atau akhlak secara umum, apalagi isu terkait ibadah sekaligus syariah, tetapi mendadak kikuk ketika menyikapi harta yang semakin melimpah atau yang semakin mengering.

Setiap aktifis dakwah secara otomatis memiliki standard ilmu dan amal yang diatas rata-rata manusia awam, pada semua aspek kehidupan, baik pada aktifitas kebaikan maupun pada penghindaran kemaksiatan. Tuhan sudah katakan dan syaratkan, jika ingin menang melawan musuh-musuh kebenaran manusia pejuang yang tampil haruslah begabung dalam barisan yang tertata rapih. Dan kualitas serta kuantitas kemenangan akan diterima berlipat ganda jika manusia-manusia yang berbaris rapi itu adalah manusia-manusia yang beriman dan sabar. Oleh sebab itu, seorang aktifis dakwah harus mampu menunjukkan keistimewaan-keistimewaan pada semua aspek hidup dan kehidupan mereka. Nah yang ingin saya soroti saat ini adalah keistimewaan aktifis dakwah dalam aspek ekonomi.

Anda kaya tapi anda adalah aktifis dakwah, antum miskin tapi antum adalah aktifis dakwah. Tentu berbeda orang kaya atau orang miskin pada manusia awam dengan orang kaya atau orang miskin pada seorang aktifis dakwah. Setidaknya ada atmosfer kezuhudan dan qona’ah pada diri dan prilaku mereka, atau nuansa pemakmuran sedekah dan penjagaan kehormatan pada mereka yang di pundaknya sudah dibebani sekaligus dimuliakan dengan amanah dakwah. Jangankan berharap pada akhlak ekonomi yang sesuai dengan Islam, bahkan rambu-rambu hukum syariat dalam berekonomi ternyata masih banyak terabaikan.

Tantangan?! Bukan hanya tantangan, ini adalah masalah yang kronis saat ini. Jika tidak dibenahi pada tingkat aktifis dakwah, bagaimana mungkin kita berharap ada perbaikan yang mendasar pada tingkat ummat. Padahal semua lembar-lembar sejarah sudah menunjukkan bahwa kehancuran banyak peradaban pada semua zaman yang telah lewat adalah karena kemegahan harta telah mencabut militansi keislaman, kepekaan pada kebersamaan, akhlak-akhlak yang terpuji atau konsistensi pada prinsip-prinsip syariat.

Darimana Memulai

Darimana memulai pembenahan itu? Yang paling tepat untuk menjadi objek awal dari pembenahan ini tentu saja adalah tekad atau semangat. Artinya bagaimana mengumpulkan semangat dan tekad yang benar untuk memulai pembenahan ekonomi ini. Mendudukkan prinsip-prinsip syariah dalam prilaku ekonomi yang tepat akan menjadi salah satu semangat dan tekad. Disamping upaya reposisi prinsip tersebut menjadi satu bahan dakwah kepada ummat. Jadi hasil akhirnya tidak lain adalah munculnya semangat dan tekad.

Dari sisi semangat dan tekad, ternyata geloranya masih dominant di wilayah ibadah. Semangat dan tekad Islam dengan gelora yang sama belum berada di wilayah ekonomi dan prilaku-prilaku turunannya. Mari kita akui bersama (daripada mengajak untuk melihat saja lebih baik mengajak untuk bersama-sama mengaku), masih minim sekali jumlah aktifis dakwah yang istiqamah mengelola hartanya sesuai dengan syariah, menyimpan di bank atau lembaga keuangan syariah, membeli rumah atau kendaraan secara syariah, mendapat modal usaha secara syariah dan prilaku lainnya yang konsistem antara idealisme dengan prakteknya.

Jika karena keharamannya anda menjadi jijik dengan daging babi, sepatutnya anda memiliki derajad jijik yang sama atau bahkan lebih pada Riba (bunga bank). Karena memakan riba itu salah satu dosa besar, dan lebih besar dari dosa memakan daging babi. Dan prinsip inilah yang menjadi salah satu sokoguru dalam praktek ekonomi Islam. Bagaimana mungkin mengharapkan seorang aktifis dakwah mampu melakukan hal-hal terkait ekonomi lebih baik, jika prinsip-prinsip utama Islam masih jauh darinya. Semua ini dapat dilakukan jika semangat dan tekad idealisme Islam yang dimiliki tepat dan masih ada di dalam dada-dada para aktifis dakwah.

Evaluasi dan Benahi!

Secara khusus, bagi anda aktifis dakwah yang ternyata sumber ma’isyah (nafkah) masih berasal dari kerja-kerja yang tidak dibenarkan dalam Islam, sebaiknya sejak saat ini anda sudah memikirkan cara bagaimana keluar dari nafkah itu. Anda harus keras pada diri anda, sekeras idealisme yang dulu pernah ada dihati dan tekad anda ketika anda sibuk dengan kerja-kerja dakwah di bangku-bangku kuliah atau sekolah. Masih ingat masa-masa itu? Sementara bagi anda yang sudah menyadarinya sejak lama, maka saat inilah waktu yang paling tepat untuk mulai mencari (bukan hanya baru mulai memikirkan) kerja nafkah yang menggambarkan status anda sebagai aktifis dakwah.

Bagi anda yang ada di bank, asuransi, reksadana, perusahaan pembiayaan, sekuritas, manajemen dana atau perusahaan-perusahaan yang core bisnisnya adalah riba dan sejenisnya, segera beralih ke perusahaan keuangan syariah. Bagaimana kita bisa menyadarkan masyarakat tentang keindahan Islam, sementara kita masih sibuk terus dengan pembenaran untuk tidak mengamalkan aplikasi-aplikasi indah Islam. Sekali lagi, para aktifis dakwah harus keras terhadap diri mereka dalam hal muamalah ini. Alasan-alasan kedaruratan seharusnya dibuang, diganti dengan usaha keras, sabar yang lebih luas dan pengorbanan yang lebih banyak, selebihnya kita serahkan saja kebutuhan-kebutuhan kita pada Allah.

Pada tingkat kelompok atau jama’ah, sudah saatnya pula kita mengajak pengelolaan dana masjid secara syariah, disimpan dan dibelanjakan sesuai syariah, terlebih lagi jika anda-anda aktifis dakwah memegang kendali kepengurusannya. Hal yang sama juga pada lembaga-lembaga lain baik komersil maupun social. Lembaga seperti perusahaan-perusahaan, sekolah dan perguruan tinggi, LSM-LSM Islam, partai-partai politik Islam, klinik dan rumah sakit Islam dan lain sebagainya. Percaya dirilah dengan prilaku ekonomi Islam ini.

Jika perlu, “paksa” semua pihak yang bertransaksi dengan anda, dan dengan lembaga-lembaga tadi ikut menjalankan prinsip-prinsip ekonomi syariah ini. Bukankah kita ingin agar kepatuhan pada prinsip syariah ini bukan hanya sekedar menjadi tindakan kepatuhan, tetapi sudah menjadi tindakan lazim yang dikenal sebagai budaya. Dengan cara seperti inilah budaya-budaya Islam muncul dalam rangka mewujudkan peradaban Islam. Tetapi tolong pahami dan maklumi, bahwa hasil permukaan itu berinti pada keberadaan aktifis-aktifis dakwah yang konsisten terhadap prinsip-prinsip Islam dan dakwah.

Mulai Tanpa Syarat

Kita sudah sering membaca berbagai macam teori yang coba meyakinkan kita tentang keunggulan dan keutamaan praktek-praktek ekonomi syariah dari berbagai perspektif, namun kini saatnya untuk mengamalkan semua aktifitas itu pada semua aspek TANPA SYARAT! Terlalu banyak teori diluar sana, kini waktunya untuk memperbanyak amal, ini waktunya mewujudkan teori menjadi kehidupan, khususnya bagi anda para aktifis dakwah. Saya mengungkapkan ini dengan kesadaran bahwa mengamalkan ekonomi syariah bukan akan sangat mudah tanpa halangan. Percayalah tak ada perjuangan tanpa masalah dan pengorbanan, tapi bukankah masalah dan pengorbanan itu sudah menjadi habitat hidup seorang aktifis dakwah. Bukankah masalah dan pengorbanan membuat idealisme dakwah menjadi terasa lebih manis dan bermakna.

Setelah memastikan dan mengamankan kerja nafkah sesuai dengan semangat dan prinsip-prinsip dakwah, maka kini yang kemudian penting adalah akhlak ekonomi Islam. Lihat dan perhatikanlah, sudah mulai banyak para aktifis dakwah yang dalam karirnya semakin akrab dengan limpahan harta yang kemudian membuat mereka seakan-akan kikuk menyikapi kondisi itu semua. Dakwah pada dasarnya memiliki standard dan logikanya yang khas dalam berakhlak, termasuk akhlak ekonomi.

Akhirnya ikhwatifillah, yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah ketauladanan ekonomi Islam bagi ummat, dan yang paling utama dan pantas memberikan ketauladanan itu adalah mereka yang mewakafkan dirinya pada kerja-kerja kebaikan, merekalah para aktifis dakwah.

Sumber: abiaqsa.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar