BMT Harus Berbenah Diri

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) hanya mampu melayani 2,5 juta dari 39 juta pelaku usaha menengah kecil dan mikro (UMKM). Dana yang disediakan pun hanya 6 persen dari kebutuhan pembiayaan UMKM. Edo Segara (Yogyakarta)

Pembangunan sektor keuangan di tingkat bawah, yang lazim disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM), beberapa tahun terakhir ini makin marak. Sebagai bukti, BPR Syariah dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) berkembang sampai ke desa-desa. Berkembangnya BMT dan BPR Syariah menunjukkan bahwa lembaga ini sangat dibutuhkan masyarakat.

Itulah salah satu paparan dalam acara Workshop Akuntansi bagi Pengelola BMT Se Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dua pekan lalu. Di sisi lain, workshop yang berlangsung di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (FE UII) Yogyakarta ini, mengeluarkan rekomendasi agar pengelola BMT dan instansi terkait menyikapi menjamurnya BMT dengan bijak.

Pasalnya, meski perkembangan ini sangat menggembirakan, tapi dari sisi akuntabilitas keuangan masih perlu dipertanyakan. Sistem pelaporan keuangan Bank Syariah dan BPR Syariah relatif bisa dipertanggungjawabkan, karena kedua lembaga melakukan pelaporan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) yang dipantau Bank Indonesia (BI).

Sedangkan BMT tak demikian. BMT tak dibina oleh BI, sehingga tak bisa menggunakan standar pelaporan PSAK dan PAPSI. Padahal, kegiatan yang dilakukan relatif sama dengan BPR Syariah. Selama ini, pengelola BMT menggunakan standar koperasi dalam membuat laporan keuangan, administrasi dan pelaporan lainnya.

”Namun, BMT juga menjadi 'anak tiri' dari Departemen Koperasi. Departemen ini jarang melakukan pembinaan dari sisi akuntabilitasnya. Saya khawatir, besarnya ghirah (semangat, red) dan dana masyarakat yang disimpan di BMT akan berujung pada kekecewaan manakala akuntabilitasnya terabaikan,” tegas Rifki Muhammad, Ketua Panitia Penyelenggara Workshop BMT se-DIY, awal Maret lalu.

Saat ini, jumlah LKM di seluruh Indonesia mencapai 9.000 unit. Yang berbentuk BMT, di seluruh Indonesia sekitar 3.307 unit dengan aset Rp 1,5 trilyun. Dengan kata lain, hampir separuh dari LKM di negeri ini berbentuk BMT. Bahkan, ada beberapa BMT yang sanggup mengelola aset di atas Rp 10 milyar dengan jumlah nasabah di atas 3.000 orang. Tapi, banyak juga BMT yang asetnya kurang dari Rp 50 juta dan nasabahnya kurang dari 500 orang.

Berdasarkan kajian Kantor Mennegkop dan UKM, LKM hanya mampu melayani 2,5 juta dari 39 juta pelaku UMKM. Dana yang mampu disediakan pun hanya sekitar 6 persen dari kebutuhan pembiayaan UMKM. Karenanya, menurut Rifki, Indonesia masih memerlukan lebih dari 8.000 unit LKM baru.

Sayangnya, lanjut Rifki, dari jumlah BMT yang sudah ada, hanya sedikit yang sudah menerapkan pengelolaan secara profesional. Ia menduga, saat ini masih banyak BMT yang melakukan praktik bisnis yang jauh dari nilai-nilai Islam. Selain itu, masih banyak BMT yang melakukan pelaporan sistem keuangannya dengan merujuk pada standar akuntansi konvensional. “Ini merupakan preseden buruk bagi lembaga keuangan Islam,” tandasnya.

Sementara itu, dari sekitar 200 unit BMT yang beroperasi di Yogyakarta, menurut Rifki, juga menghadapi persoalan klasik seperti BMT lain di Indonesia. Antara lain, tak adanya standarisasi manajemen, administrasi, laporan keuangan dan banyaknya BMT yang beroperasi tanpa badan hukum yang jelas. “Saat ini banyak BMT yang kebingungan menentukan badan hukum,” tambah dosen pada Akuntansi Syariah di FE UII Yogyakarta.

Peneliti Senior Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) FE UII M Bekti Hendrianto menyarankan, agar BMT memiliki komitmen tinggi terhadap usaha kecil. Ia menduga, saat ini masih banyak BMT yang ragu-ragu melakukan pembiayaan kepada usaha kecil.

Bekti mencontohkan, Grameent Bank di Bangladesh bisa eksis meski hanya membiayai usaha-usaha kecil. Lebih dari 90% dana yang disalurkan pada usaha kecil bisa kembali meski tanpa jaminan. Kenapa Grameent Bank bisa seperti ini? Karena, membiayai usaha kecil menimbulkan berkah.

Mengenai regulasi tentang BMT, lulusan Loughborough University, Inggris, ini berpendapat, badan hukum BMT memang perlu diatur karena mereka juga mengelola dana masyarakat. Tapi, pengaturannya harus lebih longgar. Jika ketat, lembaga seperti ini justru akan mati. “Jika BMT didorong menjadi BPR Syariah akan memberatkan, karena hanya segelintir yang mampu,” lanjutnya.

Fenomena praktik BMT yang jauh dari syariah dan belum berbadan hukum, Konsultan Lembaga Keuangan Syariah Sharia Economic Services (SES) Yogyakarta Edi Sunarto menduga, karena tak berfungsinya Dewan Syariah. Dewan Syariah hanya sekadar nama dalam struktur BMT, tapi tidak melakukan fungsi pengawasan.

Untuk mengatasinya, Edi menawarkan semacam lembaga pendamping yang memerhatikan BMT agar praktiknya sesuai dengan prinsip syariah. Mengenai badan hukum, Edi lebih setuju jika BMT berbadan hukum koperasi. Tapi, Edi berharap agar pemerintah tak menganaktirikan BMT.
Pertanyaannya, kenapa masih ada praktik BMT yang keluar dari sistem syariah? Menurut Sekjen Perhimpunan BMT se-Indonesia Ahmad Sumiyanto, BMT seperti ini umumnya hanya bermodal semangat tanpa persiapan yang baik. Dari sisi akad misalnya, masih terjadi perbedaan pemahaman. Karenanya, diperlukan SDM yang memahami akad pembiayaan secara islami. ”Untuk mengatasinya, BMT Center akan menerbitkan ”Pedoman Akad Sesuai Syariah” bagi pengelola BMT, awal Mei 2007,” tambahnya.

Mengenai aspek legal, Sumiyanto mengharapkan agar BMT tetap di bawah Dinas Koperasi non-BI. BMT tidak dapat disamakan dengan bank dan asuransi syariah. Menurutnya, produk simpanan dan pembiayaan dalam BMT berbeda dengan bank atau asuransi syariah. Segmentasi BMT juga berbeda dengan bank dan lembaga keuangan syariah lainnya.

BMT Center juga mengharapkan, agar BMT dikelola menjadi koperasi syariah yang modern. Maksudnya adalah: Pertama, pelayanan yang baik dan ramah. Kedua, SDM yang kompeten dalam ekonomi syariah. Ketiga, akad produk harus sesuai syariah. Keempat, adanya teknologi yang mendukung BMT. Kelima, pelaporan keuangan yang amanah. Keenam, kultur manajemen profesional (Non Performance Loan /NPL atau kredit macet harus dikelola dengan baik).

Sumber : http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=187:bmt-harus-berbenah-diri&catid=86:tijarah&Itemid=285
Selengkapnya...

[+/-] Selengkapnya...

KELEMBAGAAN BMT

Sebagian dari kita mungkin bingung dengan BMT. Apakah BMT itu? Apa beda BMT dengan yang lainnya? Tulisan ini akan mencoba menjelaskan tentang BMT. Sebagian besar penjelasan ini termuat dalam SOM BMT Pinbuk.

1. Definisi

BMT merupakan salah satu bentuk dari lembaga keuangan mikro bukan bank yang beroperasi berdasarkan prinsip Syariah Islam (selanjutnya disebut syariah). Lembaga keuangan berfungsi sebagai lembaga intermediasi antara pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dengan pihak yang memerlukan dana (pelaku usaha).

Salah satu dari BMT ini adalah BMT ringkasan dari nama baitul maal wat tamwil. Istilah baitul maal wat tamwil berasal dari khasanah peradaban Islam yang terdiri dari baitul maal dan baitul tamwil. Secara etimologis pengertian baitul maal adalah rumah harta (sosial), sedangkan baitul tamwil adalah rumah niaga/pengembangan harta.

1.1. Baitul Maal

Dalam konteks BMT, pengertian baitul maal adalah lembaga yang mengelola dana-dana sosial dapat berupa dana zakat, infaq, shadaqahmaupun wakaf (ziswaf). Dana ziswaf yang berhasil dihimpun disalurkan kepada pihak yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan syariah.

Ciri-ciri operasional Baitul Maal ;
- visi & misi sosial
- non profit (nirlaba)
- memiliki pfungsi sebagai mediator antara pemberi zakat (muzakki) dan penerima zakat (mustahik)
- tidak diperbolehkan mengambil profit apapun dlm operasionalnya
- biaya operasional mengambil hak sebagai amil maksimal 12,5% dari dana yang diterima, kecuali penyetor infaq & shadaqah memesankan secara khusus.

1.2. Baitul Tamwil

Baitul tamwil adalah fungsi BMT sebagai lembaga intermediasi antara pihak pemilik dana (investor/shohibul maa) dengan pengelola dana (pelaku usaha/mudlarib).

Ciri-ciri operasional Baitul Tamwil
- visi & misi ekonomi kerakyatan
- profit oriented / berorientasi laba
- dijalankan sesuai dengan prinsip syariah
- memiliki peran mediator/lembaga intermediasi antara pemilik kelebihan dana & pihak yang memerlukan dana.

2. Aspek Legal & Peraturan Pendukung

Berdasarkan pasal 33 UUD 1945, kedudukan koperasi sebagai model badan usaha diangap paling sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia yang dalam pelaksanaannya telah diatur & dikembangkan dalam berbagai peraturan. Sesuai dengan pasal 3 UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian, fungsi koperasi adalah memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut serta membangun tatanan perekonomian nasiona dalam rangka mewujudkan masyarakat adil & makmur.

BMT secara umum mempunyai misi & fungsi dalam penerapan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan ekonomi, memberdayakan pengusaha mikro serta membina kepedulian aghnia kepada dhuafa secara terpola & berkesinambungan. BMT juga bertujuan memberikan manfaat kepada angota khususnya dan masyarakat pada umumnya serta meningkatkan kekuatan dan posisi tawar pengusaha mikro & kecil.

Model kelembagaan yang cocok dengan visi serta misi BMT adalah koperasi. Terdapat beberapa kenyataan yang memberikan landasan yang kuat pada BMT sebagai gerakan koperasi antara lain :

a. BMT didirikan dengan idealisme pemberdayaan ekonomi masyarakat bawah. BMT didirikan dengan motivasi moral keagamaan yang mendorong adanya komitmen moral dari para pendirinya.
b. BMT didirikan dengan semangat kemandirian untuk memperkuat lembaga keuangan masyarakat bawah.
c. BMT didirikan dengan semangat kekeluargaan untuk meningkatkan kualitas masyarakat.
d. BMT lebih menyebar ke akar rumput dengan skala ekonomi yang kecil.
e. BMT memiliki potensi dana pendukung sosial yaitu dana zakat, infaq dan shadaqah yang memiliki prospek untuk pengembangan ekonomi kecil.

Berdasarkan karakteristik yang dimiliki oleh BMT maka badan hukum yang sesuai adalah Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS)

Selain mengacu pada UU No. 25 / 1992 diatas, legalitas Koperasi Jasa Keuangan Syariah juga diperkuat lagi oleh Keputusan Menteri Negara Koperasi & Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Ni. 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Berdasarkan Kepmen tersebut maka berlaku ketentuan umum sebagai berikut ;
1. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koerasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2. Koperasi Jasa Keuangan Syariah selanjutnya disebut KJKS adalah koperasi yang kegiatan usahanya bergerak dibidang pembiayaan, investasi dan simpanan sesuai pola bagi hasil (syariah).

Sumber : http://bmt-elmubarak.blogspot.com/2009/08/kelembagaan-bmt.html
Selengkapnya...

[+/-] Selengkapnya...

Manusia tidak memiliki kekekalan hidup di dunia. Maut pasti akan datang menjemput dengan pasti. Apakah seseorang dalam keadaan muda atau dalam keadaan tua. Apakah dalam keadaan sehat atau dalam keadaan sakit. Dalam keadaan kaya atau dalam keadaan miskin, yang pasti maut akan menjemput.

Allah SwT berfirman: “.....Tiap-tiap umat mempunyai ajal, apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. Yunus [10]: 49)

Tidak ada seorang pun di dunia ini mengetahui kapan maut akan menjemput. Maka dari itu, mempersiapkan datangnya ajal adalah hal yang harus dilakukan oleh manusia. Jangan sampai ketika ajal menjemput, amalan-amalan shalih (baik) yang dilakukan masih sangat minim, padahal amalan-amalan shalih (baik) itulah yang akan menjadi penolong manusia di akhirat.

Orang lain tidak mungkin mengerjakan amalan (perbuatan) yang baik untuk diri kita. Maka, diri kitalah yang harus terus mengerjakan amalan-amalan baik dalam kehidupan sehari-hari. Sangat banyak amalan-amalan baik yang dapat kita laksankan. Mulai dari shalat, puasa, zakat, shadaqah, tidak berbuat jahat kepada sesama, memberikan nafkah untuk keluarga dan lain sebagainya.

Terkait dengan pernyataan di atas, ada sebuah perkataan yang sangat masyhur dari seorang ulama sufi yang terkenal, yaitu dari Imam Hasan Al-Bashri. Beliau pernah mengatakan bahwa, “Aku tahu amal-amalku tak mungkin dikerjakan orang lain, maka aku sibukkan diriku untuk beramal.”

Andaikan pernyataan dari Imam Hasan Al-Bashri ini diresapi dan diimplementasikan dalam hidup sehari-hari, tidak akan ada rasa was-was yang menyelimuti diri manusia. Rasa takut mati karena merasa perbuatan baiknya masih sangat kurang. Dan implikasi yang besar adalah tidak adanya perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, karena semua manusia sibuk dengan melakukan amalan-amalan baik.

Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang selalu mengerjakan amalan-amalan shalih setiap waktu, sehingga kita termasuk orang-orang yang siap dengan datangnya ajal yang kita tidak tahu kapan akan menjemput. Wallaahu a’lam

Sumber: http://pkesinteraktif.com/edukasi/hikmah/850-aku-tahu-amal-amalku-tak-mungkin-dilakukan-orang-lain-maka-aku-sibukkan-diriku-untuk-beramal-.html
Selengkapnya...

[+/-] Selengkapnya...

Benarkah Bunga Dapat Kendalikan Inflasi?

Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator kinerja dari perekonomian. Tingkat inflasi yang terkendali menunjukkan perekonomian memiliki kinerja yang baik, dan sebaliknya tingkat inflasi yang tidak terkendali menunjukkan perekonomian memiliki kinerja yang tidak memuaskan. Kebijakan untuk mengendalikan dan menekan inflasi selalu mendapat sambutan yang positif dari para pelaku ekonomi, walaupun pengendalian inflasi yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap perekonomian baik secara mikro maupun makro. Pengendalian inflasi sebenarnya merupakan tindakan untuk mengendalikan tingkat harga di pasar, sehingga jika tidak cermat akan merusak pasar (perekonomian) itu sendiri.

Instrumen dari kebijakan ekonomi yang sangat populer untuk mengendalikan tingkat inflasi adalah tingkat suku bunga yang ditetapkan oleh bank sentral suatu negara. Pada saat laju inflasi naik maka kebijakan yang sangat umum diambil adalah menaikkan tingkat suku bunga. Walaupun kenyataannya tingkat inflasi tidak beranjak turun melainkan justru mengalami peningkatan. Faktanya, di Indonesia selama lima tahun terakhir menunjukkan pada saat tingkat bunga di naikkan maka tingkat inflasinya juga mengalami kenaikkan. Pada tahun 2003 saat tingkat rata-rata BI rate sebesar 9,94 persen, rata-rata tingkat inflasinya sebesar 6,71 persen. Pada tahun 2004 rata-rata BI ratenya turun menjadi 7,45 persen maka rata-rata tingkat inflasinya juga turun menjadi 6,06 persen. Rata-rata BI rate naik menjadi 9,22 persen pada tahun 2005 maka rata-rata tingkat inflasinya pada tahun 2005 juga naik menjadi 10,35 persen. Rata-rata BI rate ini pada tahun 2006 naik kembali menjadi 11,83 persen, kenaikan itu diikuti oleh naiknya rata-rata tingkat inflasi menjadi 13,25 persen. Begitu pula pada saat tahun 2007 rata-rata BI ratenya turun menjadi 8,6 persen maka rata-rata tingkat inflasinya juga turun menjadi 6,4 persen.

Tahun 2008 rata-rata BI rate naik kembali menjadi 8,67 persen, rata-rata inflasinya juga naik menjadi 10,3 persen. Data ini menunjukkan adanya korelasi yang positif antara tingkat suku bunga BI rate dengan tingkat inflasi yang terjadi atau tingkat suku bunga berpengaruh pasitif terhadap tingkat inflasi. Dengan kata lain apabila tingkat bunga dinaikkan maka tingkat inflasinya juga akan naik, dan sebaliknya apabila tingkat bunganya diturunkan maka tingkat inflasinya juga akan turun.

Mengapa selama ini pada saat tingkat suku bunga dinaikkan menyebabkan tingkat inflasinya juga naik, padahal salah satu tujuan dari menaikkan tingkat suku bunga adalah untuk menurunkan dan mengendalikan tingkat inflasi? Untuk menjawab pertanyaan ini maka harus dimulai dulu dari mendefinisikan inflasi itu sendiri.

Inflasi secara umum didefinisikan sebagai kenaikkan tingkat harga-harga barang dan jasa yang terjadi secara meluas dan menyeluruh dalam suatu perekonomian. Langkah selanjutnya adalah mengedentifikasi variabel apa yang dapat menyebabkan naik turunnya harga-harga tersebut. Faktor utama sebagai penentu tingkat harga adalah biaya dari input dalam proses produksi. Input produksi antara lain tenaga kerja, modal, sumberdaya alam, peralatan (mesin), managerial dan entrepreneurship.

Biaya yang berkaitan dengan tenaga kerja adalah upah, biaya dari modal adalah tingkat suku bunga, biaya untuk memperoleh sumberdaya daya alam adalah biaya bahan baku, biaya untuk memperoleh mesin adalah harga dari mesin tersebut, biaya untuk managerial dan entrepreneurship adalah imbal jasa dan laba. Produksi merupakan sebuah sistem, sehingga apabila terjadi peruhahan pada input maka juga akan terjadi perubahan pada proses dan outputnya.

Apabila salah satu dari biaya-biaya dari biaya input produksi mengalami peningkatan maka biaya pokok produksinya juga akan meningkat, selanjutnya harga jual produk akan mengalami peningkatan pula. Dalam hal ini apabila harga modal (price of capital) yaitu tingkat suku bunga meningkat maka akan meningkatan harga pokok produksi dan harga jual produknya. Dengan demikian bunga itu merupakan salah satu inflatoir atau sebagai variabel yang menyebabkan terjadinya inflasi dalam suatu perekonomian.

Oleh karena itu apabila bank sentral menaikkan tingkat suku bunga dengan maksud untuk mengendalikan dan menurunkan tingkat inflasi maka kebijakan ini akan berpengaruh secara mikro terhadap kenaikan input produksi (harga modal), harga pokok produksi dan output produksi (produk). Apabila kenaikan biaya-biaya dan harga-harga pada tataran mikro terjadi secara meluas dan menyeluruh (agregrat) dalam suatu perekonomian maka terjadilah inflasi atau tepatnya terjadi cost plus inflation. Sebaliknya, apabila terjadi penurunan biaya-biaya dan harga-harga pada tataran mikro secara meluas dan menyeluruh (agregrat) dalam suatu perekonomian maka terjadilah deflasi (tingkat inflasinya negatif).

Berdasarkan uraian di atas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah beberapa pertanyaan antara lain; pertama, mungkinkah menurunkan atau mengendalikan tingkat inflasi dengan cara menaikkan tingkat suku bunga? Orang awampun akan menjawabnya mustahil. Kedua, masih relevankah teori atau pendapat bahwa tingkat inflasi dapat dikendalikan dengan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga?. Dan pertanyaan ketiga, fakta ekonominya yang salah atau teorinya yang tidak relevan? Jawabnya pasti faktalah yang benar dan teorilah yang harus dikaji kembali agar relevan dan dapat menerangkan realita yang sebenarnya terjadi bukan fakta yang dipaksa mengikuti teorinya. Akhir kata; "Benarkah tingkat bunga dapat mengendalikan tingkat inflasi?" Semoga bermanfaat dan mencerahkan!

Muhammad Nafik H.R:
Dosen Departemen Ekonomi Islam
Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga

Sumber: http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=46111
Selengkapnya...

[+/-] Selengkapnya...