Pendampingan Sepenuh Hati

Zakat umumnya diberikan langsung dan cenderung konsumtif. Adakah program pemberdayaan tanpa melahirkan ketergantungan?

Zakat bisa digunakan untuk banyak hal dalam mengatasi masalah umat. Paradigma ini muncul sejak berkembang lembaga pengelola zakat tahun 1990-an. Menariknya, model penyaluran zakat juga kian variatif. Dana zakat maal, selain infak dan shadaqah, disalurkan dalam bentuk layanan kesehatan gratis, bantuan untuk mustahik langsung, pendidikan, yatim piatu, dan berbagai varian pendayagunaan zakat lainnya.

Makin variatifnya pendayagunaan zakat memang layak disyukuri, apalagi kreativitas pegiat zakat juga kian tinggi dan berani. Bahkan, kemajuan lembaga-lembaga zakat ini, sempat membuat gerah pemerintah dengan munculnya RUU Zakat yang menginginkan penyatuan seluruh lembaga zakat dalam kendali pemerintah. Akibatnya, ada pengabaian peran lembaga zakat yang lahir dari rahim umat sendiri.

Apalagi, program optimalisasi zakat yang dijalankan pemerintah dalam wadah BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dari pusat sampai daerah, umumnya masih mencirikan bantuan langsung dan konsumtif. Artinya, manfaat zakat hanya bisa dirasakan sesaat oleh penerima. "Secara umum, pendayagunaan zakat masih berkutat pada model charity dan konsumtif, sehingga tidak berdampak produktif bagi penerima zakat,” terang Nana Mintarti, Advisor Masyarakat Mandiri, pada Seminar Sehari ”Pemberdayaan yang Memandirikan” yang diadakan Masyarakat Mandiri–Dompet Dhuafa Republika di Jakarta, Kamis pekan lalu.

Menurut Nana, lembaga seperti Masyarakat Mandiri (MM) harus istiqamah, kerja cerdas, dan inovatif dalam menjalankan program pemberdayaan masyarakat berbasis zakat. Selama ini, zakat yang dikelola MM bisa dioptimalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat katagori mustahik di berbagai daerah. ”Program zakat seperti ini, cukup efektif dalam pengembangan masyarakat miskin di perkotaan, pedesaan, kantong keluarga TKI/TKW, dan program pasca bencana,” tambahnya.

Tujuan dari pemberdayaan masyarakat, menurut Nana, yang juga pegiat The Indonesia Magnificence Zakat (IMZ) ini, tak hanya menuju pada kemandirian masyarakat secara materi, tapi stressing point-nya justru kemandirian spiritual. ”Nilai dari zakat itu, pada hakikatnya tidak sekadar soal kemakmuran dan kesejahteraan materi, tapi juga menumbuhkan kekayaan hati dan empati pada sesama bagi para pemberi zakat,” terang Nana di hadapan peserta seminar yang berasal dari Lembaga Amil Zakat, LSM, korporat, akademisi, dan masyarakat umum.

Sementara itu, Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Sujana Royat DEA menjelaskan, pemerintah dengan PNPM Mandiri menjadikan program penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja berbasis “pemberdayaan masyarakat” sebagai target utama. Model ini memiliki ciri pendekatan partisipasi masyarakat, penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat, dan pelaksanaan program dilakukan secara swakelola oleh masyarakat sendiri.

Sebelum PNPM berjalan, zakat terbukti mampu memberdayakan masyarakat. ”Pemberdayaan dilakukan karena ada kondisi yang tidak menyenangkan agar berubah menjadi kondisi yang diinginkan. Jika tak dikelola dengan baik, justru menimbulkan masalah bahkan krisis,” ujar Isbandi Rukminto Adi, pembicara selanjutnya dari FISIP UI. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat merupakan gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif masyarakat itu sendiri.

Tapi, ada salah kaprah antara pemberdayaan masyarakat (community development) dengan community service yang banyak dilakukan perusahaan maupun lembaga sosial. Menurut Isbandi, selama ini antara community service dengan community development dianggap sama, padahal hakikatnya berbeda, terutama dalam hal partisipatif masyarakat. Pada program community service pihak luar biasanya hanya menawarkan program.

Isbandi pun mencotohkan, seperti beasiswa, sunatan massal, dan sejenisnya. Program seperti ini tidak memerlukan pendampingan intensif, karena bersifat sementara. Sementara itu, community development justru memerlukan pendampingan. Karenannya, community development merupakan kerja yang kompleks dan memerlukan totalitas dalam menanganinya. Agar berjalan efektif, ia menyarankan program pemberdayaan sebaiknya ditangani dengan gaya social entrepreneurship dan wirausaha yang memiliki produk layanan sosial.

Pendampingan Sepenuh Hati

Dalam praktiknya, program pemberdayaan memiliki prinsip pendampingan sepenuh hati. Menurut Nana Mintarti, dalam pendampingan membutuhkan seorang pendamping di tengah-tengah masyarakat. Dengan pendampingan, dana yang disalurkan bisa dimonitoring bersamaan dengan proses penguatan kapasitas kelompok penerima itu sendiri. Sehingga, komunitas penerima bantuan akan meningkat intelektual dan kemampuan manajemennya. ”Tenaga pendamping, diharapkan berasal dari kader lokal, sehingga mampu menggerakkan komunitas setempat,” tandasnya.

Nana menambahkan, seorang pendamping harus mampu memindahkan mimpi, harapan, semangat, etos, dan visi pemberdayaan kepada kader-kader masyarakat. Karena itu, seorang pendamping seperti yang dilakukan Masyarakat Mandiri harus mau tinggal dan hidup bersama masyarakat untuk melakukan kaderisasi. ”Proses pemberdayaan dan kaderisasi ini tidak mudah, maka diperlukan pendekatan dengan hati, agar terjadi transformasi nilai. Sehingga ada peningkatan kapasitas SDM dan pengembangan kelembagaan di tengah-tengah masyarakat,” jelasnya.

Bentuk kelembagaan di dalam masyarakat yang sedang dibina bisa berupa Paguyuban Usaha (Bisnis), Koperasi, BMT, atau lembaga lain yang berorientasi meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Kelembagaan seperti ini yang sebenarnya diperlukan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas ekonomi dan kesejahteraannya, bukan sekadar bantuan charity atau konsumtif yang habis seketika.

(Hery D Kurniawan)

Sumber: http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=484:pendampingan-sepenuh-hati&catid=86:tijarah&Itemid=285
Selengkapnya...

[+/-] Selengkapnya...

Pemerintah Meyakini BMT Sebagai Kekuatan Ekonomi

Munculnya lembaga keuangan mikro berbasis syariah dalam bentuk Baitul Maal waa Tanwil (BMT) yang tersebar di Indonesia, diyakini oleh pemerintah memiliki peranan penting dalam mengembangkan ekonomi dan sektor riil yang ada di masyarakat. Hal ini tak lepas dari peran pelaku BMT yang memiliki loyalitas kepada para anggotanya.

Demikian pernyataan Menteri Negara Koperasi (Mennegkop) dan UKM, Syarif Hasan dalam acara pembukaan Kongres ke-2 Asosiasi BMT se-Indonesia (Absindo) di hotel Utami, Surabaya-Jatim, Jumat (12/3).

Dihadapan para tokoh BMT seperti Aries Muftie (Ketua Umum Absindo), Amin Azis (Ketua PINBUK) dan Ketua DPR-RI Marzuki Alie, Mennegkop menambahkan, bahwa dirinya sangat impresif dengan pemikiran Aries Mufti terkait dengan pengengembangan BMT yang hingga memiliki kemajuan yang sangat pesat sekali. Selaku pemerintah, Mennegkop akan terus mendorong agar BMT terus maju, apalagi tujuan BMT mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia.

“Hal ini seiring dengan kebijakan pemerintah dibawah kepemimpinnan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terus mendorong pengembangan lembaga keuangan BMT dan non BMT untuk terus maju,”ucapnya.

Pemerintah, kata Syarif Hasan, menyadari potensi dalam pengembangan BMT sebenarnya juga dikembangkan oleh negara-negara lain yang non Muslim. Dengan demikian BMT merupakan tatanan yang perlu dikembangkan. Maka dari itu pemerintah mendukung program BMT melalui keputusan menteri koperasi diterbitkan dalam penyusunan institusi lembaga keuangan mikro syariah.

“Allhamdulilah melalui dorongan pemerintah pula saat ini juga sudah banyak lembaga keuangam mikro berbasis syariah yang didukung oleh pemerintah seperti Inkopsyah dan lembaga keuangan mikro syariah serupa BMT,”terangnya.

Kemudian terkait dengan operasional BMT, Menteri menyarankan agar sistem pengawasan dan transparasi pengelolaan BMT perlu dilakukan secara baik dengan demikian BMT akan menjadi panutan dari sistem keuangan yang lain.

Regulasi LKM

Sementara Ketum Abisindo mengatakan agar pemerintah pro aktif dalam mendorong proses regulasi di lembaga keuangan mikro, sehingga dengan demikian—pelaku keuangan mikro memiliki payung hukum yang bisa dijadikan rujukan dalam mengembangkan LKM.

“Jangan sampai yang terjadi adalah perkembangan LKM seperti BMT saat ini tidak diimbangi oleh pemerintah dalam mengantisipasi regulasi,”papar Aries Muftie.

Terkait regulasi BMT, Aries Muftie tetap merujuk pada KJKS sebagai payung hukumnya dan dia berharap pula agar RUU LKM bisa dibahas hal ini untuk mendorong BMT dalam integrasi yang lebih luas.

Ketua DPR-RI, Marzuki Ali di kesempatan itu mengatakan bahwa untuk tahun 2010 ini akan dilakukan pembahasan RUU LKM dan ini sudah dijadikan program dari komisi VI DPR-RI. Ia menyakini pembahasan RUU LKM bisa menjadi solusi kedepan bagi pengembangan lembaga keuangan mikro syariah untuk terus maju. (Agus Y)

Sumber: http://www.pkesinteraktif.com/bisnis/umum/keuangan-mikro/629-pemerintah-meyakini-bmt-sebagai-kekuatan-ekonomi-.html
Selengkapnya...

[+/-] Selengkapnya...

Mendirikan BMT (Think and Act)

Sampai saat ini, salah satu agenda penting ummat Islam adalah masalah kemiskinan. Bahkan sebagaian besar umat Islam, terpuruk dalam bidang ekonomi di tengah kejayaan dan kegemilangan kelompok lain. Ummat Islam berada dalam himpitan kemiskinan yang memprihatinkan. Di samping itu, sebagian besar umat Islam, khususnya para pedagang kecil, masih terjerat sistem ekonomi ribawi. Terdapat pula sejumlah lembaga yang mengatasnamakan (berkedok) koperasi, ternyata adalah rentenir penghisap darah ummat. Sementara itu, dominasi ekonomi dan bisnis etnis tertentu semakin mengkristal dalam struktur ekonomi kerakyatan.

Menghadapi realitas dan tantangan di atas, ummat Islam harus bangkit untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Pedagang-pedagang kecil harus diberdayakan secara serius dan proporsional. Masyarakat miskin dan pedagang kecil tersebut, harus dibebaskan dari tekanan rentenir. Kemudian, seluruh ummat Islam ikut memajukan dan mendukung pedagang dan pengusaha muslim. Juga ikut berperan secara aktif membangun lembaga-lembaga keuangan syariah seperti BMT dan BPR Syariah.

Salah satu lembaga keuangan Islam msa kini yang paling strategis dan fungsional untuk mengentaskan kemiskinanummat, adalah BMT (Baitul Mal wat Tanwil). Lewat lembaga BMT, masyarakat miskin dan pedagang kecil akan dilepaskan dari jeratan sistem riba (bunga) dan mengalihkannya kepada sistem ekonomi Islam yang disebut dengan bagi hasil (mudharabah, murabahah, dan musyarakah).

Keperluan Yang Mendesak BMT perlu didirikan di wilayah-wilayah bisnis strategis, karena :
1. Membantu pengusaha kecil muslim dalam masalah permodalan.
2. Menggeser peranan rentenir yang sangat mencekik / menghisap darah manusia.
3. Menyelamatkan tabungan umat Islam dari ancaman bunga (riba), dan sekaligus menghindarkan mereka dari perbuatan maksia (kufur nikmat).
4. Tersedianya semacam koperasi syariah sebagai alternatif lembaga keuangan ummat.
5. Mendirikan, membangun dan mengembangkan BMT merupakan wujud nyata dari amal sholih dan merupakan pelaksanaan dakwah bil hal

Keistimewahan Dan Keuntungan Baitul Mal wat Tanwil merupakan wadah keuangan yang bersifat bisnis yang dijalankan menurut syariah Islam, terbebas dari bunga yang diharamkan Al-Qur’an dan Sunnah. BMT tersebut mempunyai keistimewahan dan keuntungan antara lain :
1. Memberikan kenyamanan perasaan, karena operasionalnya dilaksanakan berdasarkan syariat Islam, dengan sistem bagi hasil (mudharabah), tanpa bunga.
2. Mendapat keuntungan duniawi dan ukhrawi. Keuntungan duniawi adalah hasil profit (keuntungan secara otomatis) dari mudharabah. Keuntungan tersebut langsung ditambahkan pada nominal simpanan nasabah. Sedangkan keuntungan ukhrawi berarti tidak mendapat beban dosa di akhirat, bahkan mendapat pahala karena telah mengamalkan prisnsip Al-Qur’an dan Sunnah.
3. Bermuamalah secara syariah mempunyai nilai ibadah.
4. Melatih dan menguji iman kepada Allah SWT.

Menghidupkan Ekonomi Islam Mengamalkan sistem ekonomi syariah lewat BMT. BPR Syariah, BMI (Bank Muamalat Indonesia), Takaful Syariah, berarti menghidupkan fiqh mu’amalah. Ummat Islam Indonesia, lebih dari delapan abad mengabaikan dan mencampakkan sebagian besar ajaran fiqh mu’amalah yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh Islam, baik secara sadar maupun tidak.

Dalam diri ummat Islam, elah mandarah daging sistem kapitalis yang sarat dengan praktek ribawi, sehingga pada masa kini, setiap aktivitas keuangan, ekonomi dan bisnis Islam, selalu berhubungan dengan sistem riba. Berdasarkan realitas tersebut, hampir tak mungkin rasanya kita melepaskan diri dari sistem ekonomi ribawi.

Akan tetapi, sebagai ummat yang beriman, apakah tidak ada keinginan kita untuk mengamalkan dan menghidupkan kembali ajaran fiqh muamalah tersebut? Upaya menghidupkan fiqh muamlah bukanlah sekedar mitos apalagi Utopia, tetapi telah menjadi kenyataan yang mencengangkan dunia. Kini negara-negara Eropa, Afrika, Asia bahkan Amerikatelah melirik keunggulan sistem ekonomi syariah. Bahkan City Bank telah menerapkan sistem ekonomu syariah pada salah satu bank yang dioperasikannya. Di luar negeri, sistem ekonomi syariah mengalami kemajuan dan dapat bersaing dengan perbankan konvensional, tentu di negara Indonesia yang mayoritas Islam, kemunkinan itu lebih besar.

Bahkan dunia perbankan konvensional dari negara-negara Amerika, Eropa dan Cina, secara besar-besaran melirik sistem ekonomi mu’amalat. Hal ini dibuktikan oleh antusias mereka untuk menghadiri pelatiah sestem operasional bank syariah di Malaysia pada pertengahan September tahun 1997 ini. Kegairahan mereka untuk mengetahui sistem muamalah syariah telah terbukti secara ekonomis mendapat keuntungan secara manusiawi dan adil, di samping prinsipnya jauh dari unsur penekanan dan individualitis.

Pandangan Pesimis Kadang-kadang muncul dengan pesimis dari sebagian umat Islam terhadap kemungkinan ekonomi yang berlandaskan syariah. Ada sebagian ahli ekonomi konvensional maupun pelaku perbankan umum, yang mengajukan pertanyaan, “Bagaimana mungkin sebuah lembaga keuangan dapat maju dan berkembang tanpa bunga, dari mana keuntungan diperoleh, bagaimana bisa menggaji pegawai? Munculnya pandangan tersebut disebabkan karena mereka kurang memahami sistem ekonomi syariah dan tidak melihat fakta sejarah di negara-negara lain di mana sistem ekonomi syariah mengalami kemajuan luar biasa.

Keuntungan lembaga keuangan syariah diperoleh, bukan dari bunga, tetapi lewat keuntungan bagi hasil, baik melalui sistem mudharabah, murabahah, ba’i bitsamanil ajil, dsb. Kadang-kadang muncul pula anggapan dari sebagian ummat Islam yang memandang hasil bunga dan mudharabah sama saja, dan hal itu merupakan tukar istilah saja. Pandangan seperti ini, merupakan pandangan yang sangat dangkal terhadap sistem mudharabah tersebut. Karena itu, paparan berikut akan menguraikan perbedaan mendasar antara keduanya.

Perbedaan Bunga dengan Mudharabah Perbedaan bunga (riba) dan bagi hasil (mudharabah) ditinjau dari empat sisi,
Pertama, peminjam (kredit)
a). Penentuan bunga ditetapkan sejak awal, tanpa berpedoman pada untung rugi. Misalnya, si A meminjam uang di sebuah Bank non Syariah sebesar Rp. 5.000.000.- Besar bunga yang harus dibayar si peminjam, telah ditetapkan secara pasti, misalnya, 20% setahun. Pembayaran bunga tersebut, tidak didasarkan kepada untung rugi si peminjam, tetapi harus berpedoman kepada persentase bunga yang telah ditetapkan. Seandainya si A tadi mengalami kerugian, ia diwajibkan juga untuk membayar sebesar bunga yang telah ditetapkan. Jika dia tidak mampu membayarnya maka agunannya akan diambil oleh Bank.

Dalam sistem mudharabah, penentuan bagi hasil berpedoman kepada untung rugi si peminjam. Besarnya jumlah bagi hasil yang disetorkan kepada lembaga syariah, diketahui setelah berusaha atau sesudah ada hasil keuntungannya. Dalam sistem mudharabah yang ditetapkan hanyalah persentase bagi mudharabah. Misalnya, 30 % keuntungan untuk bank dan 70 % untuk si peminjam. Berhubungan keuntungan itu tidak menetap, maka besarnya jumlah setoran setiap bulan berfluktuasi (naik-turun) sesuai dengan keuntungan yang diperoleh si peminjam (mudharib).

b). Dalam sistem bunga, jika terjadi kerugian, maka kerugian itu menjadi tanggungan si peminjam saja. Sedangkan dalam sistem mudharabah, kerugian itu ditanggung bersama. Pihak lembaga syariah menanggung kerugian materi, sedangkan si peminjam menanggung kerugian tenga kerja, waktu dan pikiran.
c). Besarnya bunga yang dibayar si peminam, pasti diterima bank, sedangkan dalam sistem mudharabah pihak bank/BMT, belum tentu mendapat keuntungan bagi hasil, tergantung kepada keuntungan perusahaan yang dikelola si peminjam. Karena itu, pada sistem mudharabah, keberhasilan usaha menjadi perhatian bersama pihak bank dan pihak peminjam (debitur).

Kedua, Tabungan / Simpanan / Deposito
a). Dalam sistem bunga, besarnya pembayaran bunga tidak meningkat meskipun keuntungan meningkat, karena persentase bunga telah ditetapkan secara pasti tanpa didasarkan kepada untung rugi sebuah bankl. Sedangkan dalam sistem mudharabah pembagian keuntungan bagi hasil menjadi meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah keuntungan.
Misalnya, si A mendepositokan uang di sebuah Bank non Syariah Rp. 10.000.000,- dengan bunga 20 % setahun. Maka setahun kemudian, si A mendapat bunga sebesar Rp. 2.000.000,-. Jumlah bunga tersebut telah diketahui secara pasti oleh si penabung sejak awal. Jumlah hasil bunga tersebut tidak meningkat meskipun pihak bank mendapat keuntungan 100 % atau lebih.

Ketiga, Tinjauan Hukum Agama
a). Umumnya agama (terutama Islam) mengecam sistem bunga, sedangkan sistem bagi hasil, tidak ada yang meragukan status hukumnya.
b). Merapkan sistem bunga, berarti melanggar ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan menerapkan sistem mudharabah berarti mengamalkan kandungan Al-Qur’an dan Sunnah.

Keempat, Prinsip Filosofis
Prinsip ekonomi syariah adalah keadilan, kebersamaan dan tolong menolong, saling mendorong meningkatkan prestasi dan didasarkan kepada dokterin tauhid. Jadi, pada prinsip sistem mu’malah, sistem penekanan, ketidakadilan, dan individualitis, dihilangkan.

Sumber : http://www.mail-archive.com/ekonomi-syariah@yahoogroups.com/msg01072.html

Selengkapnya...

[+/-] Selengkapnya...

Peran Pemberdayaan BMT

Industri lembaga keuangan syariah (LKS) dalam beberapa tahun terakhir ini khususnya di Indonesia sedang berkembang cukup pesat. Bahkan LKS dinilai lebih tahan dari krisis global. Muhammad Syafi’i Antonio mengatakan, di tengah kondisi krisis ekonomi saat ini, pasar modal sudah terpangkas cukup banyak. Investor yang menitipkan aset di saham pun sudah banyak tergerus, sementara di sisi likuiditas semakin ketat dengan investor yang menyelamatkan asetnya. Menurutnya sistem keuangan syariah menawarkan sistem yang lebih amanah dan bertanggung jawab. (Republika, 27 Maret 2009).

Bank syariah telah membuktikannya, selama dua bulan pertama pada tahun 2009 kinerja pertumbuhan pembiayaan tetap tinggi, dan penyaluran pembiayaan secara berkelanjutan terus mengalami peningkatan dari 33,3% pada Februari 2008 menjadi 47,3% pada Februari 2009. (Media Indonesia, 13 April 2009).

Tidak hanya pada LKS Bank Syariah, Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai salah satu lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) mendapat penyaluran dana sebesar Rp. 10 Miliar dari Induk Koperasi Syariah (Inkopsyah) BMT yang diperoleh dari Lembaga Pembiayaan dan Dana Bergulir (LPDB) Kementerian Negara Koperasi dan UKM. (Republika, 27 Maret 2009).

Pengertian Baitul Maal wa Tamwil adalah Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh – tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi yang berintikan keadilan (PKES, hlm.24, 2006). BMT bukan hanya sebuah lembaga yang berorientasi bisnis, tetapi juga sosial, lembaga yang kekayaannya terdistribusi secara merata dan adil. Oleh karena itu BMT menjadi harapan bagi masyarakat atau UKM untuk mendapatkan pembiayaan. Dalam beberapa operasional BMT, LKMS tersebut juga melakukan pemberdayaan umat.

Disamping perkembangan lembaga keuangan syariah seperti BMT, beberapa tahun belakangan ini pun sedang berkembangnya isu tentang pertanggungjawaban sosial perusahaan atau yang lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility. Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR) menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBSD) adalah komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya. Melihat pengertian dan operasional BMT dalam pemberdayaan umat, tentu hal ini berkaitan dengan program CSR yang dilakukan BMT dengan melakukan kegiatan sosial.

Berdasarkan pemaparan diatas dan anjuran pengembangan produk syariah berbasis riset yang disampaikan oleh Sekretaris Jendral Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Agustianto, tentang pentingnya kerja sama antar praktisi dan akedemisi (Republika, 16 April 2009), maka penulis tertarik membahas kegiatan BMT yang dapat dihubungkan dengan program CSR dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan pemberdayaan umat, khususnya pedagang kecil.

Berdasarkan keterangan diatas, BMT dapat melakukan pemberdayaan kepada UKM khususnya pedagang kecil atau masyarakat menengah ke bawah, yaitu dengan melakukan tiga kegiatan sebagai berikut :

1. Pembiayaan

Pedagang kecil ataupun masyarakat menengah ke bawah dalam memperoleh dana pembiayaan untuk memperluas usahanya ataupun membangun usaha baru bagi masyarakat menengah ke bawah relatif sangat sulit, maka BMT mampu menjangkaunya untuk memperoleh pembiayaan yang diberikan oleh BMT tanpa menghilangkan unsur kehati-hatian dalam penyaluaran pembiayaannya.

2. Pembinaan

Pedagang Kecil dan masyarakat menengah ke bawah dalam melakukan usahanya dan agar mampu mempertanggungjawabkan pembiayaannya, maka BMT sering kali memberikan pembinaan kewirausahaan maupun pengelolaan keuangan. Bentuk pembinaan dapat dilakukan dengan cara mengadakan seminar ataupun pelatihan. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan keterampilan yang dimiliki oleh penerima pembiayaan. Dalam program pembinaan ini, BMT dapat melakukan pembinaan pelatihan kewirausahaan untuk masyarakat umum, hal ini akan dapat meningkatkan nilai positif bagi masyarakat umum sekaligus membangkitkan semangat berwirausaha kepada masyarakat umum. Dengan demikian program pembinaan dapat memberikan peningkatan jumlah penyaluran dana BMT dengan meningkatnya jumlah penerima pembiayaan yang telah mendapatkan pembinaan terlebih dahulu.

3. Pemasaran Produk / Jasa

Untuk membantu kelancaran usaha dari penerima pembiayaan dan menjawab kerisauan para anggota penerima pembiayaan, maka BMT dapat melakukan bantuan kepada penerima pembiayaan usaha tersebut dengan cara menghubungkan antara penjual dan pembeli bahan baku yang tergabung dalam penerima pembiayaan. Dan bahkan BMT dengan bekerja sama dengan lembaga bisnis dalam lingkup usaha besar mampu melakukan pemasaran kepada masyarakat luas terhadap hasil usaha penerima pembiayaan.

Dengan demikian BMT secara aktif mampu menuntaskan kemiskinan dan berhasil menggerakan sektor reil, kegiatan BMT dengan program CSR secara nyata telah membangun suatu masyarakat apalagi masyarakat tersebut merupakan daerah operasional BMT tersebut berada. Dengan adanya BMT yang secara aktif melakukan program CSR dalam pembangunan berkelanjuatan (sustainable development) dengan pemberdayaan masyarakat atau UKM tentunya dapat menghidupkan sektor riel.

Peran BMT dalam pemberdayaan UKM akan mampu menopang kehidupan masyarakat, serta mampu meningkatkan produksi lokal dalam negeri hasil dari UKM tersebut. Menurut Ketua Panitia Penyelenggaraan Pameran Produksi Indonesia 2009 yang dilaksanakan pada tanggal 13-17 Mei 2009 Dedi Mulyadi berpendapat pemberdayaan produk dalam negeri sebagai upaya khusus agar dampak krisis global tidak semakin meluas. (Republika, 11 Mei 2009). Sedangkan Menurut Boediono yang pernah menjadi Gubernur BI mengatakan pengusaha mikro kecil menengah merupakan pilar ekonomi nasional. (Republika, 29 April 2009).

Peran Pemberdayaan BMT semakin diperkuat yaitu dengan pemberdayaan UKM melalui pemasaran mampu membantu pemerintah dalam menjalankan Inpres No 2/2009 tentang intruksi kepada instansi pemerintah guna memaksimalan produksi dalam negeri. Bahkan dalam rangka tersebut Menteri Perindustrianm, Fahmi Idris, dengan Inpres tersebut diharapkan kesadaran masyarakat tumbuh untuk mencintai produksi dalam negeri. (Republika, 13 Mei 2009).

Referensi :

Hosen, M. Nadratuzzaman. et al. 2006. “Buku Saku BANK-KU SYARIAH. Jakarta : Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah.

Media Indonesia, 13 April 2009

Republika, Edisi Maret – Mei 2009

Soetrisno, Noer. 19 April 2009. “Pengembangan Lembaga Keuangan Syariah Menuju Pemberdayaan Ekonomi Rakyat”. http://www.smecda.com/deputi7/file_makalah/Baitullmal_Muhammadiyah.pdf

Suharto, Edi. 20 April 2009. “Menggagas Standar Audit Program CSR”. http://pkbl.bumn.go.id/file/CSRAudit-edi%20suharto.pdf

Sumber : http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2009/06/24/peran-pemberdayaan-bmt/
Selengkapnya...

[+/-] Selengkapnya...