Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) VS Rentenir

By. Chuzaimah Batubara, dkk.

Usaha mikro merupakan salah satu instrumen perekonomian yang sedang digalakkan dan diprioritaskan oleh pemerintah untuk dapat meningkatkan pendapatan masyarakat baik di perkotaan maupun pedesaan. Menurut data BPS (1999), 34,55% kendala yang dihadapi usaha mikro adalah kurangnya modal, sedangkan faktor yang lain adalah pengadaan modal (20,14%), pemasaran (31,70%) dan kesulitan lainnya (13,6%).

Kesulitan akses masyarakat yang menjalankan usaha mikro kepada sumber modal sering menjadi sebab banyaknya masyarakat terjebak pada para rentenir yang memberikan kemudahan namun sekaligus membawa kesulitan kepada si peminjam karena tingginya biaya bunga yang harus dikembalikan. Sebaliknya keberadaan Lembaga Keuangan Syari’ah, seperti BMT kelihatan memberi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat tersebut. Beberapa kajian membuktikan bahwa BMT memiliki peranan yang sangat signifikan dalam mengeliminir keterjebakan masyarakat desa dengan rentenir, sekaligus berhasil mengurangi tingkat kemiskinan di kalangan masyarakat pedesaan.

Bagaimana BMT menjalankan peranannya dalam proses pemberdayaan masyarakat sekaligus mengeliminir peran rentenir di kalangan masyarakat pedesaan menjadi topik yang penting untuk dikaji lebih dalam. Beberapa kajian tentang hal ini lebih berfokus di wilayah luar Sumatera, sementara di wilayah Sumatera Utara hingga sekarang masih merupakan suatu yang tidak diketahui oleh public. Greget dan aktivitas BMT di provinsi ini telah diketahui sangat dominan dalam membangkitkan semangat wirasusaha di kalangan masyarakat, namun apakah lembaga keuangan ini sudah cukup berhasil dalam menyingkirkan para lintah darat atau rentenir masih menjadi tanda tanya.

Persoalan yang menjadi tantangan BMT di lapangan ialah praktik rentenir yang fenomenal. Untuk mengatasi persoalan rentenir ini diperlukan aturan yang jelas dari pemerintah. Dengan cara meniru langkah yang ditempuh oleh pemerintah Malaysia dimana pemerintah dalam hal ini pihak kepolisian harus merespon dan menindak lanjuti proses hokum terhadap setiap pengaduan masyarakat tentang praktek rentenir. Dengan kesungguhan kerja polisi, maka diharapkan keberadaan rentenir di seluruh wilayah akan dapat ditekan, karena bagaimana pun kemajuan LKM (termasuk di dalamnya BMT) sangat banyak tergantung pada praktik rentenir. Jika rentenir dapat dihapus atau dibatasi geraknya, dengan sendirinya BMT akan lebih mudah dikembangkan. Hal ini akan terkait dengan peraturan dan kebijakan pemerintah.

Selain itu, kemajuan sebuah BMT sangat ditentukan oleh para pengurus dan pengelolanya. Manajemen BMT sendiri harus berbenah diri, bagaimana meningkatkan efisiensi dalam hal cost of money, cost of assistance dan cost of transaction. Untuk maksud ini diperlukan peningkatan skill dan etos keagamaan setiap personalia BMT. Aspek lain yang tidak kalah pentingnya ialah pembenahan sistem pelayanan BMT.

Sebuah BMT seyogyanya memiliki karakteristik sebagai berikut
(1) Tidak mengarah pada pola pelayanan keuangan perbankan konvensional, terutama dalam hal;
=> sistem bagi hasil tidak mengarah pada sistem bunga,
=> dalam hal persyaratan tidak mensyaratkan kolateral dan tidak terdapat proses administratif formal yang menyulitkan,

(2) Sasarannya adalah masyarakat miskin dan pengusaha mikro, di mana jasa keuangan yang diberikan dapat disesuaikan dengan karakteristik kelompok sasaran tersebut,

(3) Menggunakan pendekatan kelompok, baik dengan ataupun tidak dengan sistem tanggung renteng yang mengedepankan pola hubungan kenal dekat sebagai landasan utama mengelola risiko,

(4) lingkup kegiatan BMT dapat mencakup pembiayaan kegiatan ekonomi produktif maupun konsumtif, pendampingan dan pendidikan, kegiatan penghimpunan dan bentuk kegiatan lain yang dibutuhkan oleh pengusaha mikro dan masyarakat miskin.

Sumber: http://chuzaimahbb.multiply.com/journal/item/19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar