Dunia Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) bisa dikatakan menjadi keseharian hidup Ahmad Sumiyanto SE MSi (lahir di Yogyakarta, 8 Juni 1970, sebagai anak seorang petani). Begitu selesai kuliah dari program D3 Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada (UGM), pada 1993; ia mendirikan BMT Al Ikhlas, pertama berkantor di garasi rumah keluarganya dengan hanya bermodal Rp 500 ribu.
BMT-nya ternyata berkembang dan bisa membuka sejumlah cabang di desa-desa di DI Yogyakarta dan Klaten (Jateng) di bawah naungan Al Ikhlas Grup. Selanjutnya, ia bisa mendirikan Bank Madina Syariah Yogyakarta.
BMT-nya ternyata berkembang dan bisa membuka sejumlah cabang di desa-desa di DI Yogyakarta dan Klaten (Jateng) di bawah naungan Al Ikhlas Grup. Selanjutnya, ia bisa mendirikan Bank Madina Syariah Yogyakarta.
Ia terpilih menjadi ketua Perhimpunan BMT Indonesia/BMT Center masa bakti 2007-2010 (beralamat di Gedung Adhi Graha Lt 18 Suite 1802 A, Jl Gatot Subroto, Jakarta).
Kini, ia harus pulang pergi Jakarta-Yogya dalam usaha bersama untuk mengembangan BMT di Tanah Air sebagai bagian dari gerakan untuk memajukan dunia koperasi dan ekonomi kerakyatan.
Ahmad juga dipercaya menjadi direktur utama dan konsultan utama di PT ISES Consulting Indonesia yang menangani pengembangan dan pendampingan pendirian BMT.
Berikut cuplikan perbincangan wartawan Republika, Yoebal Ganesha, dengan Ahmad Sumiyanto.
Bagaimana Anda memandang keberadaan BMT yang tumbuh marak saat ini?
Lahirnya BMT tak lepas dari semakin tumbuhnya kesadaran umat Muslim untuk berbisnis secara syariah. BMT menjawab kebutuhan adanya lembaga keuangan, bukan bank, dalam skala mikro–sebagaimana koperasi simpan pinjam (KSP)–dengan sistem syariah.
Bicara BMT, bagi saya, tak bisa dilepaskan dengan usaha/gerakan untuk membumikan ekonomi kerakyatan dan juga koperasi. BMT tampil sebagai pendukung ekonomi kerakyatan dengan berdasarkan nilai-nilai Islam.
Di sini, BMT memberikan ”pinjaman modal dengan hanya kembali modal”. Maksudnya, agar dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS)–yang juga dikelola BMT–itu bisa mengalir pada kegiatan produktif.
Apakah secara sosio-ekonomi BMT dapat menjawab kebutuhan masyarakat?
Ribuan BMT kini telah tumbuh di penjuru Tanah Air, terutama di Pulau Jawa. Artinya, lembaga keuangan mikrosyariah ini bisa diterima oleh semua kalangan. Bukan hanya Muslim, juga non-Muslim.
Tumbuhnya BMT sampai ke kota-kota kecamatan bisa memberikan solusi pendanaan (penyaluran modal) yang mudah dan cepat sampai ke desa-desa, terutama untuk para petani serta usaha kecil dan mikro (UKM). BMT juga tumbuh karena ada sektor-sektor riil yang tumbuh di masyarakat, yang hidup berdasarkan potensi lokal, bukan impor.
Berkaitan dengan UKM, BMT biasanya tak hanya terjun dalam pendanaan, tapi juga membantu manajemen, bahkan sampai pemasaran produk. Para pendiri umumnya kaum muda yang punya iktikad moral terpuji. Ada semangat pada diri mereka untuk memberantas praktik rentenir yang menjerat rakyat kecil melalui gerakan BMT.
Selain itu, gerakan ini terbukti mampu melewati krisis ekonomi 1996-1998. Saat kondisi krisis global kini, alhamdulilah, tidak berimbas kepada BMT karena BMT konsentrasi pada pemberdayaan UKM yang notabene itu adalah potensi lokal sendiri. BMT bukan berpraktik ‘di dunia maya’ (moneter).
Dalam perekonomian kita, di mana posisi BMT?
Sebagai lembaga keuangan mikro berbasis syariah, BMT bisa memberikan solusi dalam usaha pemberdayaan usaha kecil serta menjadi inti kekuatan ekonomi berbasis kerakyatan. Operasinya yang langsung bersentuhan dengan masyarakat di perkampungan sulit diikuti oleh perbankan (bagi bank, cost-nya jadi mahal).
Tumbuhnya BMT juga potensial digunakan sebagai alat untuk pengentasan kemiskinan dengan membuka perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyakat, dan pengembagan kewirausahaan.
Ada BMT yang berkembang dan ada yang gagal. Apa yang terjadi?
BMT yang stagnan dan gagal biasanya motivasi berdirinya karena ingin bantuan (modal untuk koperasi) dari pemerintah. Bukan dari gagasan yang visioner, yang memiliki visi entrepreneur yang kuat.
Tapi, kalau bicara kolaps, bukankah banyak lembaga keuangan setingkat bank (besar) yang runtuh, entah karena salah urus atau karena terpukul resesi ekonomi global. Runtuhnya malah membebani masyarakat karena pemerintah lalu membantu mereka.
BMT kini berpayung hukum pada koperasi. Bukan bisa jadi masalah tersendiri?
Kelembagaan koperasi sebagai payung hukum BMT (model koperasi jasa keuangan syariah-KJKS) cukup untuk saat ini. Persoalannya adalah bagaimana membangun koperasi modern yang taat asas, dikelola dengan profesional (total, bukan sampingan), bergerak atas dasar analisis pasar yang jelas dengan menyurvei masyarakat untuk membidik captive market yang kuat.
Dengan pengalamannya, ia sering diminta menjadi pembicara untuk pengembangan perekonomian syariah dan koperasi dalam berbagai pelatihan, seminar, danworkshop, terutama yang berhubungan dengan microfinancing danentrepneurship (kewirausahaan).
Bersama istrinya, Sofianasari (dikaruniai empat anak), pasangan ini juga sering diminta berbicara dalam kegiatan majelis taklim di Yogya.
Sekurangnya, 140 BMT kini berasosiasi pada BMT Center. Apa latar belakangnya?
BMT Center berdiri atas inisiatif dari Dompet Dhuafa dan perwakilan 12 BMT di daerah. Mereka dari DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, dan DI Yogyakarta.
Inisiatif pembentukan BMT Center muncul untuk penguatan dan perbaikan BMT-BMT yang tumbuh marak. Ini dianggap perlu adanya sebuah lembaga khusus yang mampu menaungi, mengembangkan, serta mengoordinasi potensi BMT-BMT dalam suatu jejaringan (networking) yang solid. Lembaga ini bersifat independen, profesional, dan transparan.
BMT Center berdiri pada 14 Juni 2005, bersamaan dengan penyelenggaraan acara Syariah Micro Finance Summit 2005, yang mengusung tema ”Urgensi Perhimpunan BMT Indonesia dalam Meningkatkan Kualitas dan Peranan Lembaga Keuangan Mikro Syariah” di Jakarta.
Seperti apa perkembangan BMT Center saat ini?
Sangat bagus. Ini ditandai dengan pertumbuhan aset (BMT-BMT anggotanya) yang cukup signifikan, sampai 40 persen dari sejak berdiri. Sebanyak 140 BMT kini berasosiasi pada BMT Center dengan masing-masing mempunyai aset sampai Rp 10 miliar. Artinya, ini menyangkut aset sampai Rp 1,4 triliun yang bisa digerakkan untuk mendukung kebutuhan permodalan bagi UKM.
Apa visi dan misi dari BMT Center?
Ingin menjadi pusat pendorong tercapainya BMT-BMT yang kokoh, kuat, dan profesional. Misi kami adalah ingin meningkatkan capacity building BMT-BMT anggotanya dan BMT-BMT calon anggota melalui jasa pendampingan teknis, manajemen, dan pelatihan yang berkesinambungan dan terarah.
Selain itu, kami berusaha melakukan intermediasi dan advokasi, baik antara BMT anggota, BMT-BMT calon anggota, maupun pihak dan lembaga di luar BMT. Maksudnya, agar bisa terwujud aliansi stategis dalam gerakan pemberdayaan ekonomi umat (ekonomi kerakyatan)–melalui pemberdayaan UKM.
Kami juga ingin berperan serta dalam gerakan dakwah bil hal tentang pemberdayaan ekonomi umat yang berbasis ekonomi syariah melalui BMT-BMT.
Strategi apa untuk mendukungnya?
BMT Center membentuk dua sayap kegiatan. Pertama, PT Permodalan BMT sebagai wholesaler yang berfungsi menguatkan likuiditas dan penguatan masalah permodalan. Kedua, untuk mengatasi persoalan SDM, dibentuklah BMT Institute.
BMT Center juga berfungsi sebagai self regulatory organization, koordinator untuk meningkatkan koordinasi lembaga regulator (Bank Indonesia atau departemen terkait, seperti Departemen Koperasi), misalnya dalam hal rating BMT-BMT, standar profesi pengelola BMT, dan etika dalam menjalankan bisnis BMT.
Untuk membangun capacity building, baik BMT maupun debiturnya, kami membentuk, menyehatkan, dan meningkatkannya melalui pendampingan teknis, training, dan jasa manajemen lain.
Bagaimana BMT Center menguatkan kiprah BMT-BMT di lapangan?
Asosiasi berkonsentrasi pada anggotanya, memberikan solusi-solusi, seperti untuk krisis likuiditas bagi anggota yang mengalami kesulitan pembiayaan.
Asosiasi membantu pengembangan SDM di BMT, melakukan pelatihan dan pendampingan terus-menerus, serta meningkatkan inovasi produk-produk pembiayaan agar lebih konsisten pada syariahnya sehingga secara bisnis terus tumbuh dengan profesional dan dapat bersaing dengan lembaga-lembaga lain dalam bingkai syariah.
BMT Center juga berupaya membangun profesionalisme kepada anggota-anggotanya. Dan, kami mengedepankan pola pengembangan SDM yang sustainable (berkelanjutan).
Langkah ke luar apa saja yang sudah dikerjakan BMT Center?
Kami menjalin kerja sama dengan BI atau lembaga-lembaga lain sebagai lembaga donor untuk memperkuat permodalan anggota BMT Center.
Apa isu-isu aktual internal BMT?
Mengapa dibutuhkan asosiasi semacam BMT Center? Ini agar gerakan BMT bisa berpikir lebih strategis. Di antaranya, bagaimana supaya ada lembaga riset yang konsentrasi untuk melihat progres atau perkembangan BMT.
Lembaga riset ini diusahakan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan penting yang muncul. Dari sisi kuantitas, apakah lembaga keuangan, seperti BMT, sudah menjalankan fungsi-fungsi pembiayaannya secara baik atau belum.
Bagaimana Anda melihat permasalahan UKM dan LKMS (Lembaga Keuangan Mikro Syariah)?
BMT sebenarnya tumbuh bersama UKM. Saya melihat pembangunan pemerintah belum fokus pada pembiayaan usaha kecil melalui LKM (Lembaga Keuangan Mikro). Ini pasarnya BMT yang masih sangat luas. Selama ini, BMT melakukan pembiayaan dengan plafon Rp 3-5 juta.
Sayangnya, BMT sebagai gerakan bisa dikatakan kurang mendapat perhatian pemerintah. Tak seperti lembaga keuangan besar.
Apa lagi yang dimiliki oleh gerakan dan bisnis BMT sehingga bisa dikatakan dapat berperan menjadi bagian dari solusi perekonomian nasional?
Para pelaku BMT umumnya punya idealisme dengan komitmen terhadap pemberdayaan ekonomi umat. Umumnya, mereka yang terjun pada BMT adalah anak-anak muda yang punya integritas moral.
Sudah terbukti, BMT bisa tumbuh karena mereka memang memberikan kemudahan jasa keuangan kepada UKM dengan prosedur yang tidak birokratis. Ini karena organisasi BMT yang ramping. Apalagi, di lapangan, rata-rata BMT melakukan sistem jemput bola.
Menurut saya, BMT akan terus berkembang dan memberikan manfaat kepada masyarakat jika memfokuskan diri dalam pembiayaan sektor agro (pertanian), akses kepada petani, penggemukan sapi/kambing, housing, dan perdagangan.
Ahmad mengambil sarjana ekonomi dari Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (1999). Ia juga mengajar di Universitas Islam Indonesia (almamaternya untuk program S2 di bidang ekonomi Islam). Kini, ia ingin mengambil program S3 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Sekurangnya, ia telah menulis lima buku. Salah satu bukunya kini menjadi acuan bagi mereka yang ingin mendirikan BMT–judul BMT Menuju Koperasi Modern.
Bagaimana pemerintah bisa membantu menumbuhkan BMT dan UKM?
Perlu dipikirkan bagaimana bisa diusahakan penguatan (permodalan) BMT. Misalnya, pemerintah memberikan skema pembiayaan pada UKM lewat microfinance yang lebih bervariasi dan produktif dengan syarat yang mudah sehingga mudah diakses oleh usaha-usaha mikro.
Pemerintah juga harus betul-betul berkomitmen untuk pengembangan BMT sebagai gerakan koperasi. Sebagai contoh, Kementerian Negara Koperasi/UKM pernah mengembalikan dana bergulir sebesar Rp 381 miliar pada negara. Penarikan dana ini terkait terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 99 yang mewajibkan dana bergulir harus dikembalikan.
Sebelumnya, tahun 2005, dana bergulir tidak perlu dikembalikan. Jadi, istilahnya dana sosial.
Sebetulnya, BMT siap untuk mengelola dana macam itu dan mengembalikan (walaupun dikomersialkan). Ini menunjukkan bahwa Kementerian Negara Koperasi belum mampu memotret potensi BMT secara utuh.
Selain itu, di BUMN, ada bagian keuntungan yang akan disalurkan pada UKM dengan bunga enam persen. Sebenarnya, BMT juga mampu mengelola dana tersebut, tapi skim-nya harus dibuat secara syariah.
Bagaimana dengan perbankan?
Perbankan harusnya juga berpihak pada microfinance dengan menyalurkan dana pada UKM. Mereka bisa bekerja sama dengan BMT. Untuk funding-nya dari perbankan, BMT fokus pada lending (penyaluran).
BMT bisa menjadi partner bank-bank besar untuk masuk ke penyaluran pembiayaan mikro. Memang, kini ada bank-bank yang terjun ke pembiayaan mikro untuk menjangkau UKM-UKM. Tapi, agaknya usaha itu high cost bagi bank-bank besar. Nah, mengapa tak bermitra dengan BMT? Tapi, dasarnya harus syariah.
Sumber: http://www.republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar