Oleh Hanif Hannan
Tersebutlah seorang ahli ibadah bernama Nidzam al-Mahmudi. Ia tinggal di sebuah kampung terpencil, dalam sebuah gubuk kecil. Istri dan anak-anaknya hidup dengan amat sederhana. Akan tetapi, semua anaknya cerdas.
Selain penduduk kampung itu, tidak ada yang tahu bahwa ia mempunyai kebun subur yang luas dan perniagaan yang kian berkembang di beberapa kota besar. Dengan kekayaan yang diputar secara mahir itu ia dapat menghidupi ratusan keluarga yang bergantung kepadanya. Namun, Nidzam al-Mahmudi merasa amat bahagia dan damai menikmati perjalanan hidupnya seperti itu.
Salah seorang anaknya pernah bertanya, “Mengapa Ayah tidak membangun rumah yang besar dan indah? Bukankah Ayah mampu?”
“Ada beberapa sebab mengapa Ayah lebih suka menempati sebuah gubuk kecil,” jawab sang sufi yang tidak terkenal itu.
“Pertama, karena betapa pun besarnya rumah kita, yang kita butuhkan ternyata hanya tempat untuk duduk dan berbaring. Rumah besar sering menjadi penjara bagi penghuninya. Sehari-hari cuma mengurung diri sambil menikmati keindahan istananya. Sang penghuni terlepas dari masyarakatnya, dari alam bebas yang indah ini. Akibatnya ia akan kurang bersyukur kepada Allah.”
Anaknya yang sudah cukup dewasa itu membenarkan ucapan ayahnya di dalam hati. Apalagi ketika sang ayah melanjutkan argumentasinya.
“Kedua, dengan menempati sebuah gubuk kecil, kalian akan menjadi cepat dewasa. Kalian ingin segera memisahkan diri dari orang tua supaya dapat menghuni rumah yang lain.”
”Ketiga, kami dulu cuma berdua, ayah dan ibu. Kelak akan menjadi berdua lagi setelah anak-anak semuanya berumah tangga. Bila ayah dan ibu menempati rumah yang besar, bukankah kelengangan suasana akan lebih terasa dan menyiksa?”
Si anak tercenung. Alangkah bijaknya sikap sang ayah yang tampak lugu dan polos itu. Ia seorang hartawan yang kekayaannya melimpah. Akan tetapi, keringatnya setiap hari selalu bercucuran. Ia ikut mencangkul dan menuai hasil tanaman.
Ia betul-betul menikmati kekayaannya dengan cara yang paling mendasar. Ia tidak melayang-layang dalam buaian harta benda sehingga sebenarnya bukan merasakan kekayaan, melainkan kepayahan semata-mata. Sebab, banyak hartawan lain yang hanya bisa menghitung-hitung kekayaannya dalam bentuk angka-angka. Mereka hanya menikmati lembaran-lembaran kertas yang disangkanya kekayaan yang tiada tara. Padahal, hakikatnya ia tidak menikmati apa-apa kecuali angan-angan kosongnya sendiri.
Kemudian, anak itu lebih terkesima tatkala ayahnya meneruskan, “Anakku, jika aku membangun sebuah istana anggun, biayanya terlalu besar. Dan, biaya sebesar itu kalau kubangunkan rumah-rumah kecil yang memadai untuk tempat tinggal, berapa banyak tunawisma bisa terangkat martabatnya menjadi warga terhormat? Ingatlah anakku, dunia ini disediakan Tuhan untuk segenap mahkluknya. Dan, dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penghuninya. Akan tetapi, dunia ini akan menjadi sempit dan terlalu sedikit, bahkan tidak cukup, untuk memuaskan hanya keserakahan seorang manusia saja.”
Praktik Nyata
Sungguh indah dialog Nidzam dengan anaknya di atas. Dari kisah itu kita bisa merasakan bahwa pendidikan akidah di dalam keluarga akan berjalan baik jika orang tua langsung menerapkan pemahaman akidah yang diyakininya dalam kehidupan nyata.
Nyata, karena akidah yang intisarinya adalah mencintai dan menomorsatukan Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas segalanya, tampak sangat jelas dalam sikap dan pola hidup Nidzam. Karena nyata keteladanannya, sang anak pun mudah tersentuh. Dengan kata lain, proses pembinaan akidah yang dilakukan Nidzam kepada anaknya benar-benar terjadi secara efektif.
Kalau keterampilan membina akidah yang efektif itu bisa kita latih secara intensif, rasanya bukan mustahil kita bisa menyaksikan anak-anak yang memiliki akidah yang kokoh seperti yang terjadi di masa Umar bin Khaththab. Seorang anak yang akidahnya mengagumkan Umar, pasti lahir dari penempaan yang luar biasa dari orang tuanya. Inilah gambaran kekokohan akidahnya.
Suatu hari Umar bin Khaththab melihat seorang anak gembala miskin dengan pakaian sangat sederhana sedang menggembalakan kambing yang amat banyak milik majikannya. Umar kemudian bertanya, “Nak, bolehkah aku membeli kambing yang sedang kau gembalakan itu satu ekor saja?”
Si anak gembala menjawab, “Kambing ini bukan milikku melainkan milik majikanku. Aku tidak boleh menjualnya.”
Umar membujuknya lagi, “Kambing itu amat banyak. Apakah majikanmu tahu jumlahnya? Apakah dia suka memeriksa dan menghitungnya?”
Anak itu menjawabnya dengan mantap, “Tidak, majikanku tidak tahu berapa ekor jumlah kambingnya. Dia tidak tahu berapa kambing yang mati dan berapa yang lahir. Dia tidak pernah memeriksa dan menghitungnya.”
“Kalau begitu hilang satu ekor kambing, majikanmu tidak akan tahu. Ini uangnya, terimalah! Ambil saja buat kamu untuk membeli baju atau roti,” desak Umar untuk mengujinya.
Namun, anak gembala itu tetap tidak terbujuk dan menampik uang yang disodorkan Umar.
Umar kemudian menyambung, “Kambing itu amat banyak. Majikan kamu tidak tahu jumlahnya. Kalau kamu jual satu, majikan kamu tidak akan tahu. Di sini juga tidak ada orang lain. Hanya ada aku dengan kamu. Tidak ada orang lain yang tahu.”
Anak itu kemudian dengan tetap tegar menjawab, “Memang tidak ada orang lain di sini. Tapi dimana Allah? Allah Maha Tahu. Allah menyaksian semua yang terjadi.”
Mendengar jawaban itu, Umar bin Khatab, amirul Mu’minin yang gagah perkasa tersebut menangis dan mendekap anak gembala itu dengan penuh kasih sayang.
Di masa Rasulullah SAW, pendidikan akidah untuk senantiasa mementingkan Allah SWT dan Rasulnya bisa kita lihat dari keluarga Anas bin Malik. Suatu hari ketika Anas terlambat pulang ke rumah karena urusannya dengan Rasulullah SAW, ibunya bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau terlambat?”
“Rahasia” jawab Anas.
Anak itu tidak membuka rahasia itu kepada ibunya. Sang ibu pun berkata, “Jangan sampai engkau buka rahasia Rasulullah kepada siapa pun.”
Berjanji dan Menepati
Sejarah mencatat bagaimana seorang anak yang telah ditanamkan akidah begitu kuat di dadanya kukuh memegang janji kepada sang ibu untuk tidak berbohong. Alkisah, ketika anak tersebut akan berpergian jauh, ia diingatkan lagi oleh sang ibu akan janjinya untuk tidak berbohong.
Sesampai di kota tujuan, sang anak dihadang gerombolan penyamun yang merampas semua barang-barang bawaannya.
“Apa lagi yang kamu bawa?” tanya seorang penyamun setelah merampas bawaannya.
“Uang empat puluh dinar.”
Namun, gerombolan itu menyangka anak itu hanya main-main. Lalu mereka pergi meninggalkannya.
Ketika bertemu dengan penyamun yang lain dan ditanya hal serupa, bocah itu kembali menjawab, ”Uang empat puluh dinar.”
Mendengar jawaban tersebut, si penyamun membawa sang anak ke pemimpinnya. “Apa yang kamu bawa?” tanya sang pimpinan?
“Uang empat puluh dinar.”
Setelah digeledah ternyata gerombolan itu tidak menemukannya. Mereka menyangka anak itu memang hanya omong kosong. Namun, saat mereka mau pergi, si anak berkata sambil menunjukkan lipatan di balik bajunya. “Uang itu saya simpan di sini.”
Pemimpin gerombolan ini terheran-heran dengan kejujuran si anak.
“Apa yang mendorongmu berkata jujur?”
“Ibu menyuruh saya berjanji untuk tidak berbohong. Saya takut mengkhianati janji saya itu.”
Mendengar ucapan anak ini, pemimpin penyamun pun sadar. Lalu ia memerintahkan kepada semua anak buahnya mengembalikan barang-barang yang mereka rampas.
“Saya bertobat kepada Allah karena ucapanmu wahai anakku. Kini engkau pemimpin kami dalam pertaubatan kepada Allah” kata pemimpin penyamun.
Tobatnya sang pemimpin diikuti juga oleh semua anak buahnya. Anak itu kelak dikenal sebagai ulama besar di zamannya. Ia bernama Abdul Qadir Al-Jailani. Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber: http://majalah.hidayatullah.com/?p=1126
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Best Casino | Mapyro
Visit casinos in 영주 출장마사지 Arizona 당진 출장샵 for slots, 창원 출장안마 table games, video poker, blackjack, roulette, video keno and a list of the top 순천 출장샵 10 충주 출장샵 casinos with a
Posting Komentar