Sekarang, Saatnya Gunakan Dinar-Dirham

Dinar-dirham sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Pemerintah diminta meresponnya.
Senja bersiap meninggalkan cakrawala. Beberapa pedagang kaki lima di Jalan Sungai Landak Cilincing, Jakarta Utara terlihat sigap membangun tenda-tenda kayu dan merapikan barang dagangannya. Mereka memulai aktivitas mengais rezeki hingga tengah malam.

Aktivitas sore sampai malam hari di Jalan Sungai Landak itu sepintas tak ada yang berbeda dengan di daerah pinggiran Jakarta lainnya. Namun, bila dicermati, di kawasan yang terletak hanya beberapa meter dari Pantai Marunda itu, terdapat aktivitas yang langka ditemukan di daerah-daerah lainnya.

Di sepanjang jalan ini hingga dini hari dijumpai aktivitas transaksi jual beli dengan menggunakan dirham sebagai alat tukar. Ada puluhan toko dan warung kaki lima yang menerima pembayaran dengan dirham. Warung nasi goreng milik Syamil misalnya.

Warung Syamil atau biasa dipanggil Cak Syam ini menerima pembayaran dirham sejak tahun 2009. “Saya senang menerima dirham karena yakin bernilai stabil,” katanya.

Selain warung nasi goreng ada juga warung pecel lele, toko obat, bengkel motor, toko material, dan toko kelontong yang menerima pembayaran dengan dinar maupun dirham.

Miskin tapi Pakai Dirham

Sofyan al-Jawi, Pemilik Wakala al-Faqi, penyedia dinar-dirham untuk daerah Cilincing, mengatakan, kesadaran masyarakat untuk menggunakan dirham sebagai alat tukar berawal saat Ramadhan 2009. Saat itu, Baitul Maal Nusantara (BMN) membagikan uang zakat sebesar satu dirham per kepala keluarga di wilayah pesisir pantai tersebut. “Awalnya mereka merasa aneh. Bahkan ada yang mengira bahwa dirham ini mata uang negara Arab. Setelah kami jelaskan, akhirnya mereka mengerti dan sampai sekarang keterusan menggunakannya,” jelas Sofyan saat ditemui Suara Hidayatullah.

Sebelumnya, kata Sofyan, pada 2009 warga Cilincing juga pernah menggelar pasar Islam yang transaksi jual belinya menggunakan dirham. Meski baru sebatas menggunakan dirham sebagai alat tukar, tapi Sofyan merasa bangga dengan kesadaran masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan tersebut. Apalagi kebanyakan mereka hidup di bawah garis kemiskinan. ”Menurut saya ini unik, bisa menjadi model. Orang miskin saja mau menggunakan dirham, masak orang kaya tidak?” kelakarnya.

BMN sendiri merupakan lembaga yang berada satu jaringan dengan Wakala Induk Nusantara (WIN), penyedia dinar-dirham untuk lingkup nasional. BMN secara rutin menggelar pembagian zakat berupa dirham kepada kaum dhuafa di berbagai daerah.

Dilirik Non Muslim

Selain di Cilincing, berbagai daerah juga rutin menggelar pasar-pasar Islam. Bandung salah satunya. Di ibukota Jawa Barat ini setidaknya dalam tiga tahun terakhir, tercatat sudah puluhan kali diadakan pasar Islam atau pasar ukhuwah. Menurut catatan Pembina Paguyuban Pedagang Pasar Islam Bandung, Thoriq Gunara, pasar Islam pernah diadakan di Masjid Salman ITB, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, dan di Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Bandung.

Thoriq menjelaskan, dipilihnya kampus sebagai lokasi pasar Islam karena mempunyai komunitas dinar-dirham yang cukup banyak. Selain itu, kampus juga dinilai sangat strategis untuk edukasi mengenai dinar-dirham. Dalam kegiatan pasar Islam, biasanya pihak panitia juga merangkai berbagai kegiatan pendukung seperti seminar, talk show, bedah buku, atau dialog seputar dinar-dirham. Narasumbernya mereka datangkan dari praktisi, penulis buku, maupun kalangan akademisi yang konsen terhadap dinar-dirham.

Untuk jenis komoditas yang dijajakan, tidak kalah dengan pasar tradisional. Dari makanan ringan, buku, herbal, pakaian hingga barang elektronik tersedia. Bahkan, kata Thoriq, ayam dan domba pun sempat ikut dipasarkan. Semua barang dibandrol dengan dirnar dan dirham. Dalam setiap penyelenggaraan, lebih dari 50 pedagang ikut berpatisipasi. Pedagangnya pun tidak hanya dari kalangan Muslim, ada juga pedagang non Muslim yang ikut menjajakan barang dagangannya di pasar Islam.

”Pedagang tersebut senang mengikuti aturan pasar Islam. Meski diyakini kedatangan mereka hanya mencari peluang dan untung semata, namun itu membuktikan bahwa pasar yang dibangun dengan prinsip syariah mampu menarik kalangan non Muslim,” jelas Thoriq.

Untuk memudahkan pengunjung yang tak memiliki dinar-dirham, panitia menyediakan stan penukaran rupiah ke dinar/dirham (wakala).

Semarak geliat pasar Islam juga terjadi di Bogor dan Depok. Di Bogor, pasar Islam pernah diselenggarakan di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Fatah, Pasir Angin Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Pasar ini berlangsung selama dua hari, 2 sampai 4 April 2010. ”Alhamdulillah, ada sekitar 10.000 pengunjung. Perputaran uang kalau dirupiahkan sebesar 130 juta rupiah,” kata Ali Farkhan Tsani, Sekretaris Ponpes Al-Fatah.

Sementara di Depok hampir setiap pekan digelar pasar Islam. Pasar ini biasa diselenggarakan di jalan M Ali Beji. Di daerah ini pula terdapat toko-toko permanen yang menerima dinar-dirham. Mini market milik Sahlan, misalnya. “Kami sudah dari tiga bulan lalu menerima dirham. Kami ingin menghidupkan Sunnah Nabi,” ujar Sahlan.

AS Kalang Kabut

Seorang pakar ekonomi syariah dari Inggris, Tarek El Diwany mengatakan, penggunaan dinar-dirham sebagai mata uang utama sangat ditentukan oleh kebijakan politik. ”Politiklah yang membuat itu bisa terjadi,” kata Tarek.

Tarek meyakini, jika umat Islam terus menerus masih menggunakan uang kertas, maka umat Islam akan tetap menjadi miskin. Tetap termarjinalkan dan akan sulit keluar dari permasalahan perekonomian.

Syafi’i Antonio, Komite Ahli Pengembangan Perbankan Syariah Bank Indonesia, mengatakan bahwa penerapan dinar-dirham sejalan dengan tujuan Bank Indonesia (BI). “Sesungguhnya apa yang dibutuhkan oleh BI adalah satu sistem ekonomi yang stabil. Sistem ekonomi yang stabil itu tergantung kepada sistem mata uangnya. Nah, salah satu kelemahan sistem mata uang kita sekarang ini adalah risiko depresiasi (penurunan nilai) karena inflasi permanen,” jelas Syafi’i kepada Suara Hidayatullah.

Syafi’i menjelaskan, dinar-dirham merupakan mata uang yang memenuhi syarat anti inflasi. ”Tidak bisa digoyang spekulatif global, tidak mengukur tingkat harga jasa, dan memenuhi satuan hitung,” katanya.

Ia yakin seandainya dunia Islam mau menggunakan dinar-dirham, maka Amerika Serikat (AS) kalang kabut. Eropa saat ini sudah menyatu dengan mata uang Euro. Kemudian China, Taiwan, Hongkong, dan Changhai juga demikian. Maka, kata Syafi’i, Dolar AS tidak akan ada yang pakai. Kecuali hanya dipakai di AS sendiri.

Jadi, tambah Syafi’i, sesungguhnya ini lebih berbahaya dari senjata nuklir sekalipun. Karena dengan ini, AS akan kehabisan daya tekan kepada dunia global. Mereka tidak akan bisa menekan lagi secara ekonomi, sebab dolar tidak ada yang pakai. Ini yang paling dikhawatirkan oleh AS. “Makanya, segala upaya yang mengarah kepada adanya blok yang lain akan dihambat,” tandasnya.

Sumber: http://majalah.hidayatullah.com/?p=1802

Tidak ada komentar:

Posting Komentar