
Kedua, emas disimpan dengan tujuan untuk ditabung dan dikeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nisab. Nisab emas yang disimpan itu 85 gram dengan karat 24, jadi jika dirupiahkan dengan harga emas sekarang kira-kira 34 juta.
Kemudian tidak diniatkan untuk ditimbun dan orang memang sedang tidak membutuhkannya. Maka hal ini makruh, karena emas itu menjadi tidak bermanfaat atau mubadzir. Namun, tambah Zain, bisa menjadi dianjurkan kalau untuk tujuan yang baik, misalnya untuk biaya naik haji, atau untuk persediaan di masa depan yang kemungkinan akan sulit, seperti kisahnya Nabi Yusuf ‘Alaihissalam.
Ketiga, emas disimpan dengan tujuan agar menjadi barang langka padahal sedang diperlukan atau dicari oleh orang sehingga harganya menjadi naik. Emas itu juga tidak dizakatkan. Hal semacam inilah yang sangat dilarang keras dalam Islam. Dalilnya dalam surat Al-Hasr ayat 7.
Maksud ayat di atas, jelas Zain, supaya harta itu (emas) tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Jadi agar harta itu dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat secara merata. Dalil lain yang lebih khusus mengenai emas ada dalam surat At-Taubah ayat 34-35:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”
Jadi, barang yang dikategorikan ditimbun itu adalah barang yang tidak dizakati, sehingga para ulama menyimpulkan, kalau dizakati itu tidak termasuk ditimbun.
“Dengan demikian menyimpan emas menjadi sesuatu yang haram, kalau diniatkan agar menjadi barang langka, padahal orang-orang sedang memerlukannya sehingga harganya menjadi naik dan emas yang disimpan itu tidak dizakati,” pungkas Zain. *Dwi Budiman, Ibnu Syafaat/Suara Hidayatullah,AGUSTUS 2010
* Muhammad Syakir Sula
(Sekjen Masyarakat Ekonomi Syariah (MES))
Sumber: http://majalah.hidayatullah.com/?p=1802
Tidak ada komentar:
Posting Komentar