Pendampingan Sepenuh Hati

Zakat umumnya diberikan langsung dan cenderung konsumtif. Adakah program pemberdayaan tanpa melahirkan ketergantungan?

Zakat bisa digunakan untuk banyak hal dalam mengatasi masalah umat. Paradigma ini muncul sejak berkembang lembaga pengelola zakat tahun 1990-an. Menariknya, model penyaluran zakat juga kian variatif. Dana zakat maal, selain infak dan shadaqah, disalurkan dalam bentuk layanan kesehatan gratis, bantuan untuk mustahik langsung, pendidikan, yatim piatu, dan berbagai varian pendayagunaan zakat lainnya.

Makin variatifnya pendayagunaan zakat memang layak disyukuri, apalagi kreativitas pegiat zakat juga kian tinggi dan berani. Bahkan, kemajuan lembaga-lembaga zakat ini, sempat membuat gerah pemerintah dengan munculnya RUU Zakat yang menginginkan penyatuan seluruh lembaga zakat dalam kendali pemerintah. Akibatnya, ada pengabaian peran lembaga zakat yang lahir dari rahim umat sendiri.

Apalagi, program optimalisasi zakat yang dijalankan pemerintah dalam wadah BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dari pusat sampai daerah, umumnya masih mencirikan bantuan langsung dan konsumtif. Artinya, manfaat zakat hanya bisa dirasakan sesaat oleh penerima. "Secara umum, pendayagunaan zakat masih berkutat pada model charity dan konsumtif, sehingga tidak berdampak produktif bagi penerima zakat,” terang Nana Mintarti, Advisor Masyarakat Mandiri, pada Seminar Sehari ”Pemberdayaan yang Memandirikan” yang diadakan Masyarakat Mandiri–Dompet Dhuafa Republika di Jakarta, Kamis pekan lalu.

Menurut Nana, lembaga seperti Masyarakat Mandiri (MM) harus istiqamah, kerja cerdas, dan inovatif dalam menjalankan program pemberdayaan masyarakat berbasis zakat. Selama ini, zakat yang dikelola MM bisa dioptimalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat katagori mustahik di berbagai daerah. ”Program zakat seperti ini, cukup efektif dalam pengembangan masyarakat miskin di perkotaan, pedesaan, kantong keluarga TKI/TKW, dan program pasca bencana,” tambahnya.

Tujuan dari pemberdayaan masyarakat, menurut Nana, yang juga pegiat The Indonesia Magnificence Zakat (IMZ) ini, tak hanya menuju pada kemandirian masyarakat secara materi, tapi stressing point-nya justru kemandirian spiritual. ”Nilai dari zakat itu, pada hakikatnya tidak sekadar soal kemakmuran dan kesejahteraan materi, tapi juga menumbuhkan kekayaan hati dan empati pada sesama bagi para pemberi zakat,” terang Nana di hadapan peserta seminar yang berasal dari Lembaga Amil Zakat, LSM, korporat, akademisi, dan masyarakat umum.

Sementara itu, Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Sujana Royat DEA menjelaskan, pemerintah dengan PNPM Mandiri menjadikan program penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja berbasis “pemberdayaan masyarakat” sebagai target utama. Model ini memiliki ciri pendekatan partisipasi masyarakat, penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat, dan pelaksanaan program dilakukan secara swakelola oleh masyarakat sendiri.

Sebelum PNPM berjalan, zakat terbukti mampu memberdayakan masyarakat. ”Pemberdayaan dilakukan karena ada kondisi yang tidak menyenangkan agar berubah menjadi kondisi yang diinginkan. Jika tak dikelola dengan baik, justru menimbulkan masalah bahkan krisis,” ujar Isbandi Rukminto Adi, pembicara selanjutnya dari FISIP UI. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat merupakan gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif masyarakat itu sendiri.

Tapi, ada salah kaprah antara pemberdayaan masyarakat (community development) dengan community service yang banyak dilakukan perusahaan maupun lembaga sosial. Menurut Isbandi, selama ini antara community service dengan community development dianggap sama, padahal hakikatnya berbeda, terutama dalam hal partisipatif masyarakat. Pada program community service pihak luar biasanya hanya menawarkan program.

Isbandi pun mencotohkan, seperti beasiswa, sunatan massal, dan sejenisnya. Program seperti ini tidak memerlukan pendampingan intensif, karena bersifat sementara. Sementara itu, community development justru memerlukan pendampingan. Karenannya, community development merupakan kerja yang kompleks dan memerlukan totalitas dalam menanganinya. Agar berjalan efektif, ia menyarankan program pemberdayaan sebaiknya ditangani dengan gaya social entrepreneurship dan wirausaha yang memiliki produk layanan sosial.

Pendampingan Sepenuh Hati

Dalam praktiknya, program pemberdayaan memiliki prinsip pendampingan sepenuh hati. Menurut Nana Mintarti, dalam pendampingan membutuhkan seorang pendamping di tengah-tengah masyarakat. Dengan pendampingan, dana yang disalurkan bisa dimonitoring bersamaan dengan proses penguatan kapasitas kelompok penerima itu sendiri. Sehingga, komunitas penerima bantuan akan meningkat intelektual dan kemampuan manajemennya. ”Tenaga pendamping, diharapkan berasal dari kader lokal, sehingga mampu menggerakkan komunitas setempat,” tandasnya.

Nana menambahkan, seorang pendamping harus mampu memindahkan mimpi, harapan, semangat, etos, dan visi pemberdayaan kepada kader-kader masyarakat. Karena itu, seorang pendamping seperti yang dilakukan Masyarakat Mandiri harus mau tinggal dan hidup bersama masyarakat untuk melakukan kaderisasi. ”Proses pemberdayaan dan kaderisasi ini tidak mudah, maka diperlukan pendekatan dengan hati, agar terjadi transformasi nilai. Sehingga ada peningkatan kapasitas SDM dan pengembangan kelembagaan di tengah-tengah masyarakat,” jelasnya.

Bentuk kelembagaan di dalam masyarakat yang sedang dibina bisa berupa Paguyuban Usaha (Bisnis), Koperasi, BMT, atau lembaga lain yang berorientasi meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Kelembagaan seperti ini yang sebenarnya diperlukan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas ekonomi dan kesejahteraannya, bukan sekadar bantuan charity atau konsumtif yang habis seketika.

(Hery D Kurniawan)

Sumber: http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=484:pendampingan-sepenuh-hati&catid=86:tijarah&Itemid=285

Tidak ada komentar:

Posting Komentar