Mata uang emas Dinar dan uang perak Dirham telah mulai digunakan kembali oleh sebagian masyarakat Muslim dan non-Muslim sejak sepuluh tahun terakhir. Jika telah meluas, insya Allah akan menggeser dominasi Dolar. Kalau Anda seorang pedagang barang atau penjual jasa, jangan heran jika suatu saat ada orang yang menawarkan pembayaran dengan menggunakan uang emas Dinar dan uang perak Dirham. Juga jangan heran jika suatu saat pegawai Anda minta digaji dengan kedua mata uang tersebut.
Memang, Dinar dan Dirham merupakan mata uang zaman dulu. Keduanya lazim digunakan pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup empat belas abad silam. Dinar dan Dirham telah lama hanya menjadi bahan cerita dan kenangan tentang mata uang di masa lampau. Tapi patut diketahui, mata uang tersebut kini telah ‘hidup kembali’, terutama sejak Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad, menyatakan hendak menggunakan Dinar sebagai alat tukar perdagangan negaranya dengan negara-negara Muslim di tahun 2003 mendatang.
Mahathir jelas punya andil besar dalam menghidupkan kembali Dinar , tetapi sesungguhnya dia bukanlah orang pertama yang melakukannya. Sebelum Mahathir mengungkapkan dukungannya terhadap Dinar , bahkan jauh hari sebelum terjadi krisis moneter yan g melanda negara-negara di Asia, pada 18 Agustus 1991 sebuah komunitas Muslim di Eropa yang bernama “Murabitun” telah mengeluarkan fatwa tentang “Larangan Pemakaian Uang Kertas sebagai Alat Tukar”. Mereka kemudian mencetak mata uang emas Dinar serta mata uang perak Dirham sebagai pengganti uang kertas yang telah mereka haramkan.
Pencetakan Dinar dan Dirham pertama kali dilakukan di Granada, Spanyol, tahun 1992. Dari salah satu kota di bekas wilayah kekhalifahan Islam di Andalusia tersebut Dinar dan Dirham kemudian disebar ke 22 negara oleh para jamaah Murabitun. Indonesia tidak ketinggalan, ikut kecipratan dua mata uang tersebut. Bahkan menurut Malik Abdulhaqq Dwito Hermanadi, liaison officer Murabitun Nusantara, sejak 1999 Dinar dan Dirham telah dicetak di Indonesia melalui PT Logam Mulia, sebuah BUMN anak perusahaan PT Aneka Tambang.
Uang emas dan perak itu kemudian disebarluaskan oleh para jamaah Murabitun Nusantara ke berbagai wilayah di Indonesia dan ke luar negeri melalui jaringan Murabitun International.
Jumlah yang disebar memang belum begitu banyak. Menurut Malik, sejak dicetak pertama kali oleh PT Logam Mulia hingga kini baru beredar sekitar 1.000 keping uang Dinar dan 3.000 keping uang Dirham. Namun menurut Direktur Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Zaim Saidi, jika Dinar dan Dirham sudah dikenal oleh masyarakat luas, kebutuhan terhadap mata uang tersebut akan terus besar, mengingat konsumsi logam mulia masyarakat Indonesia yang cukup lumayan. Berdasar data terakhir, kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia terhadap emas setiap tahunnya tidak kurang dari 25 ton emas. “Itu artinya setara dengan 5,88 juta Dinar ,” ungkap Zaim.
Saat ini konsumsi emas tersebut sebagian besar memang masih untuk pembuatan perhiasan. Namun jika kesadaran masyarakat sudah semakin meningkat serta infrastruktur pelayanannya sudah tersedia maka bisa diharapkan permintaan emas untuk pembuatan Dinar juga akan semakin meningkat.
Perkiraan tersebut tidak berlebihan mengingat beberapa tahun terakhir masyarakat luas sudah dikenalkan dengan koin emas ONH (Ongkos Naik Haji) yang dikeluarkan oleh PT Pegadaian. Bahkan Pemerintah pernah pula mengeluarkan koin emas peringatan Hari Kemerdekaan RI yang ke-50, peringatan 100 tahun Bung Karno serta peringatan 100 tahun Bung Hatta, meski dengan jumlah cetakan yang sangat terbatas. Jadi pemanfaatan Dinar dan Dirham oleh masyarakat luas sesungguhnya tinggal menunggu waktu saja. Tinggal diberi percepatan dengan kampanye yang intensif.
Dinar untuk ONH Setelah Pemerintah RI melalui PT Pegadaian mencetak koin emas ONH sepatutnya Pemerintah juga menetapkan perhitungan dan pembayaran biaya perjalanan ibadah haji (BPIH, nama baru dari ONH) dengan mata uang emas Dinar. Seperti diketahui, selama ini biaya perjalanan haji menggunakan patokan nilai Dolar, karena untuk bertransaksi dengan Arab Saudi, Pemerintah RI menggunakan Dolar. Sehingga tentu saja yang diuntungkan Amerika.
Dengan jumlah jamaah haji sekitar 200 ribu orang per tahun, sebenarnya Indonesia—negara dengan jamaah haji paling banyak—punya posisi tawar (bargaining position) yang kuat terhadap pemerintah Arab Saudi. Jika Pemerintah RI menawarkan pembayaran dengan Dinar kepada pemerintah Arab Saudi, kemungkinan besar disetujui. Sebab nilainya begitu besar. Kalau biaya perjalanan haji di tahun ini Rp 25 juta per orang, dan jika harga emas per gram Rp 70.000 maka jika biaya itu dibayar dengan uang emas maka jumlahnya setara dengan 84 Dinar per orang. Untuk seluruh jamaah haji Indonesia nilai transaksinya bisa mencapai 16,8 juta Dinar.
Kalau itu disetujui maka Pemerintah RI tidak perlu menukar Rupiah dengan Dolar terlebih dulu, baru kemudian menyerahkan ke Arab Saudi. Dengan Dinar, Pemerintah Indonesia bisa langsung menyerahkan uangnnya kepada Pemerintaha Arab Saudi. Praktis dan hemat biaya, karena tidak terpotong margin jual beli valuta asing.
Yang menarik, pengguna mata uang Dinar dan Dirham kini tidak terbatas di kalangan Muslim saja. Seperti diceritakan Malik, di kota Norwich, Inggris, komunitas Murabitun di kota itu selama beberapa tahun terakhir kerap mengadakan pasar raya Muslimin di akhir pekan dengan menggunakan alat tukar uang Dirham.
“Para pembeli ketika memasuki arena pasar menukarkan uang kertas mereka ke Dirham lalu menggunakan Dirham itu berbelanja. Tidak hanya kaum Muslimin, orang non-Muslim mempergunakannya di pasar raya itu,” kisah Malik.
Hal serupa terjadi di Dubai, Uni Emirat Arab. “Bahkan sejak tahun 2000 pada acara Dubai Shopping Festival yang berlangsung di bandara kota itu para pengunjung Muslimin dan non-Muslim bisa berbelanja berbagai benda dengan menggunakan Dinar dan Dirham,” kata Malik.
Di Indonesia sendiri komunitas Murabitun sudah menerapkan pembayaran upah dan gaji dengan Dinar dan Dirham. “Misalnya untuk upah pencetakan buku kami menerima dalam Dinar ,” tambah penerjemah buku Sistem Dajal karya Ahmad Thomson itu. Begitu juga beberapa perjanjian qirad dengan teman-temannya di Malaysia sudah dilakukan dalam hitungan Dinar .
Tanpa diketahui banyak orang, ternyata Dompet Dhuafa (DD) sudah menerima pembayaran zakat sejak awal berdirinya di tahun 1993. Kini tengah mempersiapkan kampanye berzakat dengan Dinar dan Dirham yang akan digelar tahun depan. Sementara persiapan berlangsung DD juga tengah mencoba untuk menggaji karyawannya dengan Dinar .
Zaim Saidi, sebagai salah seorang aktivis LSM yang paling lantang mengkampanyekan Dinar dan Dirham juga tak mau kalah konsekuen. Dalam berrmuamalah sehari-ia hari kerap mengajak orang menerapkan Dinar . Misalnya tatkala ia menerima honor seminar, Zaim meminta dibayar dengan Dinar . Begitu juga jika PIRAC menyelenggarakan seminar, para pembicaranya ditawari apakah hendak dibayar dengan Dinar atau Rupiah.
Melihat berbagai kemajuan itu, Malik mengungkapkan rasa optimisnya bahwa masyarakat yang menerapkan Dinar dan Dirham akan terus bertambah. “Jadi walaupun masih dalam jumlah kecil dan terbatas—bukan saja di komunitas Murabitun—telah terbentang arena-arena dimana Dinar dan Dirham berfungsi sebagaimana ditegaskan dalam sunnah masyarakat Islam awal Madinah,” kata Malik kepada Suara Hidayatullah (Sahid).
Wakala
Di samping sosialisasi yang harus digencarkan, menurut Zaim Saidi, perlu juga disediakan infrastrukturnya, antara lain berupa gerai penukaran uang Dinar (money changer) dan wakala, yakni lembaga penitipan uang Dinar dan Dirham serta penyedia jasa transfer. Di lembaga itu orang bisa menitipkan uang Dinar dan Dirhamnya sekaligus dapat mentransfernya ke wakala lain.
“Dengan demikian jika kita mempunyai rekan bisnis di luar negeri kita tinggal menyetor dinar ke wakala, lalu wakala itu mentransfer uang dinarnya ke rekan bisnis di luar negeri melalui wakala setempat. Prakteknya seperti kartu debet,” jelas Zaim.
Jasa transfer demikian kerap disebut sebagai digital gold currency atau sistem pembayaran berbasis dinar emas secara elektronik, via internet (E-Dinar). Menurut Zaim, sistem tersebut kini telah berlangsung secara internasional di bawah pengelolaan e-Dinar Ltd, sebuah lembaga swasta berbadan hukum yang berpusat di Malaysia. Sedangkan secara fisik emasnya disimpan di bawah penjagaan Transguard Storage Company di Dubai.
Masih menurut Zaim, sejak mulai didirikan dan dioperasikan tahun 1997, e-Dinar kini telah mencatat lebih dari 300 ribu pemegang rekening Dinar, tersebar di lebih dari 160 negara, termasuk Indonesia. Bahkan menurut Malik, jika digabung dengan pengguna e-Gold, pemegang rekeningnya telah berjumlah 700 ribu orang. Perkembangan ini boleh dibilang di luar dugaan, karena target awal pemegang rekening e-Dinar, sekitar lima tahun lalu, dipatok hanya 10 ribu orang. Karena itu diperkirakan pada tahun mendatang perkembangannya akan kian pesat.
Dengan perkembangan teknologi transfer digital tersebut, maka kekhawatiran sebagian orang tentang ketidakpraktisan membawa serta menyimpan Dinar dan Dirham akan terpatahkan. “Misalnya Pak Ali pergi ke London dari Jakarta. Di London ia ingin mengambil Dinar-nya, maka dengan mudah ia cukup berkunjung ke salah satu wakala di Mesjid London, lalu memanfaatkan internet di situ (atau pun lewat telpon gengamnya) memindahkan e-Dinar nya ke rekening wakala itu dan mengambil Dinar fisikal sebagai tukarannya. Mudah, murah, aman, dan cepat. Biaya transfer antar rekening e-Dinar untuk nilai transfer berapapun maksimal adalah 50 sen dolar AS. Waktu transfer maksimal sekitar 10 detik,” jelas Malik. Kemudahannya tidak berbeda jauh dari penggunaan mesin ATM di berbagai lembaga perbankan.
Tapi agak berbeda dengan bisnis perbankan, uang yang disimpan di wakala tidak berstatus sebagai hutang dari penitip kepada wakala, tetapi sekedar harta titipan yang dapat diambil kapan saja dalam bentuk uang emas. Karena statusnya itu uang titipan itu tidak boleh dipinjamkan kepada pihak ketiga. Wakala mendapatkan keuntungan semata dari uang jasa penitipan dan jasa transfer. “Begitu ada orang yang mau membuka usaha demikian maka kemudian program ini bisa jalan,” tegas Zaim.
Menurut Malik, Murabitun saat ini baru memilik satu wakala di Bandung yang sudah beroperasi sejak tahun 2000. Empat lainnya akan menyusul di Jakarta, sebuah di Medan, serta sebuah lagi di Yogyakarta. Zaim Saidi bersama PIRAC-nya juga berencana untuk mendirikan sejumlah wakala di Jakarta.
Ada kabar Pesantren Daarut Tauhid telah membuka gerai penukaran uang Dinar dan wakala. Tapi setelah Sahid mengecek langsung ke pesantren asuhan Abdullah Gymnastiar itu di Bandung ternyata belum ada. Salah seorang pengurus pesantren yang ditemui di tempat itu malah mengaku baru mendengar berita tersebut. Mungkin baru dalam rencana.
Jadi, cepat atau lambat berbagai lembaga Islam insya Allah akan ikut serta dalam arus besar menghidupkan kembali kejayaan Dinar dan Dirham. Ketua Ketua Badan Kerja Sama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI) KH Kholil Ridwan misalnya, menurut Zaim telah menunjukkan minatnya terhadap usaha ini. “Beliau sudah mengundang kami ke Bogor untuk membicarakan usaha ini,” katanya.
Tantangan
Sesuai hukum aksi-reaksi, seiring dengan usaha menghidupkan kembali Dinar dan Dirham, tentu akan ada usaha untuk merintanginya, yakni mereka yang kepentingannya akan terganggu oleh kehadiran uang emas dan perak. Mereka adalah sebuah kekuatan yang tersistem dan mapan, yang terutama terdiri dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan besar dari sistem riba. Lebih khusus lagi mereka adalah para spekulan yang menumpuk kekayaan dari perdagangan maya di pasar uang.
Seorang bernama Jay Taylon, ungkap Zaim Saidi, pernah menulis artikel yang disebarluaskan lewat internet yang mengingatkan pada masyarakat bahwa Dinar adalah Islamic Bomb yang sesungguhnya—dan bukan bom nuklir yang dibuat oleh Pakistan. Kemudian Necmettin Erbakan segera dijungkalkan dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Turki oleh militer negara sekuler itu setelah ia mulai mengkampanyekan dinar sebagai alternatif pembayaran internasional.
Namun sebesar apapun usaha mereka untuk merintangi penghidupan kembali Dinar dan Dirham, kita sebagai ummat Islam harus tetap terus memperjuangkannya. Sebab fenomena ekonomi dunia yang kita hadapi sekarang justru kian jelas menunjukkan keunggulan uang emas dan perak serta sebaliknya menunjukkan kian lemahnya kekuatan uang kertas.
Uang kertas, terutama Dolar, sekarang ini nampak seperti sedang jaya-jayanya, terus membesar dan meraksasa. Namun di balik itu sebenarnya uang kertas sedang dalam keadaan menggelembung untuk suatu saat meledak.
Itulah sebabnya orang seperti Umar Ibrahim Vadillo telah mengeluarkan fatwa untuk segera meninggalkan uang kertas, terutama Dolar. Menurutnya dunia kini dibanjiri terlalu banyak Dolar. Di pasar uang dunia kini transaksi Dolar telah mencapai angka 800 trilyun Dolar AS per tahun. Sementara nilai perdagangan dunia yang merupakan sektor nil ‘hanya’ 4 trilyun Dolar AS per tahun. Artinya, transaksi di pasar uang itu besarnya 20 kali lipat nilai transaksi perdagangan sektor riil.
Kondisi demikian jelas mencemaskan, karena transaksi di pasar uang sesungguhnya bersifat maya, karena tidak ada barang yang diperdagangkan, kecuali uang itu sendiri. Fenomena itu kerap disebut ekonomi gelembung (bubble economy), karena nilainya yang begitu besar, tapi pada hakekatnya tidak ada barang riil yang diperdagangkan. Karena itu kita tinggal menantikan saatnya gelembung uang itu meledak, lalu meruntuhkan ekonomi global.
Pemerintah Malaysia telah memahami bahaya yanag akan muncul setelah gelembung Dolar itu meledak. Sehingga mereka sangat komit pada upaya penerapan Dinar dan Dirham. Namun sejauh ini Pemerintah Indonesia belum menampakkan kepedulian terhadap mata uang emas dan perak itu. “Jangankan mendukung, peduli saja belum. Sebab Pemerintah Indonesia tidak punya visi dan misi,” kata Zaim Saidi.
Sikap yang seperti itu jelas terasa aneh, karena dampak akibat krisis moneter yang dialami Indonesia jelas lebih parah daripada yang dialami Malaysia. Sehingga seharusnya Indonesia lebih peduli dan antusias menggunakan Dinar untuk mengantisipasi dari krisis yang mungkin akan datang lagi.
Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga yang bertugas mengendalikan peredaran uang di Indonesia sementara ini baru sampai pada tahap mengkaji Dinar . Seperti dikatakan Kepala Biro Perbankan Syariah BI, Harisman kepada Republika (22/8/02), bulan Agustus silam ia telah mengirim seorang stafnya untuk mengikuti seminar tentang Dinar di Kuala Lumpur, Malaysia.
Namun kepada Sahid, Zaim Saidi mengaku tidak yakin BI akan mendukung penerapan Dinar di Indonesia. “Selama BI masih mengelola sistem riba maka mereka tidak akan mendukung penerapan Dinar dan Dirham,” kata Ketua PIRAC itu di kantornya.
Tantangan lainnya mungkin berupa semacam efek hambatan psikologis bagi kalangan non-Muslim yang menanggap Dinar dan Dirham uang khusus ummat Islam. Hambatan psikologis demikian bisa dihilangkan dengan mengingatkan sejarah Dinar yang berasal dari Kerajaan Bizantium yang raja dan masyarakatnya waktu itu meyoritas beragama Nasrani serta sejarah Dirham yang berasal dari Persia, yang raja dan rakyatnya waktu itu kebanyakan beragama Majusi. Jika ada hambatan seperti itu Adiwarman Karim melalui Gamma mengusulkan penggunaan istilah selain Dinar. “Enggak usah bilang Dinar. Katakan saja gold money,” kata Direktur Karim Institute itu.
Pernyataan Adiwarman ada benarnya. Lepas dari apapun istilahnya, yang penting dapat bertransaksi dengan menggunakan uang emas, bukan uang kertas. Sebab jika menilik sejarah, ummat Islam sejak dahulu sudah biasa bertransaksi menggunakan uang emas dengan pihak non Muslim. Seperti diungkap Andhi Raharjo Eko, pengurus Murabitun di Bandung, uang emas dan perak sangat lazim digunakan dalam perdagangan antar bangsa yang berbeda bahasa dan agamanya.
VOC ketika bertransaksi dengan sultan dan penguasa di Nusantara menggunakan uang emas dan perak. Bangsa kita jual rempah-rempah, dibayar VOC dengan emas dan perak. Sehingga ada keseimbangan, ada kekayaan alam yang dibawa tapi ada kekayaan pula yang masuk. “Maka tidak heran kalau kerajaan-kerajaan di Nusantara hari ini walaupun tidak mempunyai kewenangan hukum, tapi mereka masih punya harta karun berupa emas dan perak yang banyak. Bisa dibayangkan, kalau dulu VOC menggunakan uang kertas, apa masih bisa berlaku untuk saat ini?” tanya Andhi.
Tentu saja tidak. Karenanya, tidak pernah ada harta karun yang berupa uang kertas. Uang yang dicari oleh pemburu harta karun sampai ke dasar laut dan ke perut bumi adalah uang emas dan uang perak. Bukan uang kertas. Sebab uang emas dan perak, meski telah tenggelam di dalam samudra atau terkubur di perut bumi hingga seribu tahun, tetap bernilai mahal. Daya belinya tetap utuh. Seribu tahun yang lalu sekeping uang emas dapat untuk membeli seekor kambing, setelah ditemukan kembali seribu tahun kemudian sekeping uang emas itu tetap laku untuk membeli seekor kambing. Tidak demikian dengan uang kertas. Dalam tempo setahun saja sudah menjadi lusuh. Lalu menjadi tidak laku sama sekali dalam beberapa tahun kemudian. Berbeda sekali.
Kalau begitu, kita perlu ucapkan, “Selamat datang kembali Dinar dan Dirham. Selamat tinggal uang kertas. Selamat tinggal Dolar!”
Sumber : http://www.hidayatullah.com/berita/lokal/19-pakai-dinar-tinggalkan-dolar
Selengkapnya...
[+/-] Selengkapnya...
[+/-] Ringkasan saja...